Sabtu, 21 Maret 2015

ZOOLOGI CHORDATA AMPHIBIA



ZOOLOGI CHORDATA
AMPHIBIA

Dosen Pengampu:
Fitriyah, M.Si


Kelompok  3:
Terry Angria P P
Shubriyah
Nurul Baroroh(13620119)
Lailatul Qomariyah(13620128)
Ahmad Robitul Ubaid

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015

KATA  PENGANTAR
بسم الله الرحمن الحيم
       Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul AMPHIBIA dengan  tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ZOOLOGI CHORDATA. Penulisan makalah ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Fitriyah M.Si. sebagai dosen pengampu mata kuliah ZOOLOGI CHORDATA.
2.       Orang tua yang telah banyak memberikan dukungan dan sumbangan moral maupan material.
3.      Teman-teman yang telah banyak membantu penulisan makalah ini, sehingga dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun  sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.


Malang, 11 Maret 2015

Penulis



DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah................................................................................ 3
1.3  Tujuan.................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Amphibi, Karakteristik, Dan Klasifikasinya...................... 4
2.2 Sistem Rangka Dan Otot Pada Amphibi............................................. 16
2.3 Sistem Sirkulasi Pada Amphibi........................................................... 19
2.4 Sistem Pencernaan Pada Amphibi....................................................... 20
2.5 Sistem Pernafasan Pada Amphibi........................................................ 22       
2.6 Sistem Urogenital Pada Amphibi........................................................ 23
2.7 Sistem Saraf Dan Indera Pada Amphibi............................................. 24
2.8 Sistem Reproduksi Dan Endokrin Pada Amphibi............................... 26
BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan.......................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 30



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Ilmu pengetahuan yang mempelajari hewan-hewan dan kehidupannya ialah zoologi. Objek dari zoologi ialah hewan-hewan yang hidup di dalam laut, di dalam air tawar di daratan, dan di udara. Zoologi dibagi menjadi dua bagian yakni  invertebrata yang merupakan hewan yang tidak memiliki tulang belakang dan vertebrata yang merupakan subfilum dari Chordata yang memiliki anggota yang cukup besar dan paling terkenal. Tubuh dibagi menjadi tiga bagian yang cukup jelas: kepala, badan, ekor.  Kepala dengan rangka dalam, cranium, di dalamnya terdapat otak, karena mempunyai cranium ini Vertebrata dikenal juga sebagai craniata. Notocord sebagai penyokong berakhir pada cranium dan pada tingkat yang telah maju diganti oleh unsur-unsur tulang belakang yang beruas-ruas (vertebrae). Tubuh dilapisi oleh jaringan yang berlapis yaitu dermis dan diatasnya terdapat epidermis. Epidermis ada yang mempunyai lapisan tanduk, bersisik, berbulu atau berambut. Mempunyai rangka dalam yang bersendi dari rawan  atau rawan dan tulang. Memiliki tiga tipe jaringan otot yaitu otot polos atau otot visveral, otot rangka atau otot bergaris melintang dan otot jantung atau otot cardiac. Memiliki saluran pencernaan yang komplit yaitu: mulut, lidah, gigi, faring, esofagus, lambung, usus, kloaka atau rektum dan anus. Peredaran darah tertutup yang terdiri atas sebuah jantung, pembuluh arteri, kapiler, dan vena. Juga dilengkapi dengan pembuluh limfa. Sistem ekskresi berupa ginjal yang mengalami berbagai tingkat perkembangan. Sistem sarafnya sudah dilengkapi dengan otak dan sumsum tulang belakang sebagai sistem saraf pusat, saraf tepi (perifer), dan sistem saraf otonom yang mengontrol organ visceral. Mempunyai sejumlah kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon yang berfungsi dalam mengatur berbagai proses dalam tubuh. Berkelamin terpisah, pada beberapa Vertebrata rendah mempunyai daya regenerasi terbatas. Salah satu contoh dari kelas vertebrata adalah  Amphibi yang akan dibahas dalam makalah ini. 
Amphibi merupakan suatu kelas hewan vertebrata yang paling primitif. Spesies dari Amphibi yang masih eksis hingga sekarang termasuk dalam 3 kelompok yaitu Salamander (Urodela), Caecilian (Gymnophiona) dan Anura. Lebih dari 4600 spesies dari Amphibi dan masing-masing spesies memiliki perbedaan dalam bentuk tubuh, ukuran, ekologi serta tingkah lakunya Amphibi merupakan hewan yang memiliki kelembaban kulit cukup tinggi, kulit tidak ditutupi oleh rambut serta memiliki kemampuan hidup di air maupun di darat. Amphibia berasal dari bahasa Yunani yaitu Amphi yang berarti rangkap dan Bios yang berarti hidup. Karena itu Amphibia diartikan sebagai hewan yang mempunyai dua bentuk kehidupanya itu di darat dan di air. Pada umumnya, Amphibi mempunyai siklus hidup awal di perairan dan siklus hidup kedua adalah di daratan
Pada fase berudu Amphibi hidup di perairan dan bernafas dengan insang. Pada fase ini berudu bergerak menggunakan ekor. Pada fase dewasa hidup di darat dan bernafas dengan paru-paru. Pada fase dewasa ini Amphibi bergerak dengan kaki. Perubahan cara bernafas yang seiring dengan peralihan kehidupan dari perairan ke daratan menyebabkan hilangnya insang dan rangka insang lama kelamaan menghilang. Pada Anura, tidak ditemukan leher sebagai mekanisme adaptasi terhadap hidup di dalam liang dan bergerak dengan cara melompat.
Amphibi memiliki larynx diperkuat oleh cartilagines dan dilengkapi dengan pita-pita suara yang elastis yaitu ligamenta vocalia. Aliran udara dari pulmones dan sebaliknya mendesak dengan kuat pita-pita itu sehingga bergetar dan menghasilkan bunyi. Di dalam atsar riwayat imam baihaqi disebutkan sebagai berikut:
وَأَخْرَجَ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ : { لَا تَقْتُلُوا الضَّفَادِعَ فَإِنَّ نَقِيقَهَا تَسْبِيحٌ { قَالَ الْبَيْهَقِيُّ : إسْنَادُهُ صَحِيحٌ
Artinya:
Ibnu Umar radhiallahu anhu berkata : “jangan kalian membunuh katak karena suaranya adalah tasbih “ dikeluarkan oleh Imam Baihaqie dan beliau berkata : sanadnya shahih.
Hadits atau atsar diatas menyebutkan secara global bahwa katak memiliki suara, sehingga bagi kita perlu untuk mengkajinya mengenai proses suara itu ditimbulkan, prosesnya telah dijelaskan diatas bahwa, aliran udara dari pulmones dan sebaliknya mendesak dengan kuat pita-pita itu sehingga bergetar dan menghasilkan bunyi, dan juga karena amphibi memiliki larynx diperkuat oleh cartilagines dan dilengkapi dengan pita-pita suara yang elastis yaitu ligamenta vocalia.
1.2    Rumusan Masalah
Melihat uraian di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.              Apa yang dimaksud dengan amphibi, bagaimana karakteristik dan klasifikasinya?
2.              Bagaimana sistem rangka dan otot pada amphibi?
3.              Bagimana sistem sirkulasi pada amphibi?
4.              Bagaimana sistem pencernaan pada amphibi?
5.              Bagaimana sistem pernafasan pada amphibi?
6.              Bagaimana sistem urogenital pada amphibi?
7.              Bagaimana sistem saraf dan indera pada amphibi?
8.              Bagaimana sistem reproduksi dan endokrin pada amphibi?
1.3    Tujuan
Adapun maksud dan tujuan makalah ini adalah:
1.              Untuk mengetahui pengertian amphibi, karakteristik, dan klasifikasinya.
2.              Untuk mengetahui sistem rangka dan otot pada amphibi.
3.              Untuk mengetahui sistem sirkulasi pada amphibi.
4.              Untuk mengetahui sistem pencernaan pada amphibi.
5.             Untuk mengetahui sistem pernafasan pada Amphibi.
6.              Untuk mengetahui sistem urogenital pada amphibi.
7.              Untuk mengetahui sistem saraf dan indera pada amphibi.
8.              Untuk mengetahui sistem reproduksi dan endokrin pada amphibi.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian , Karakteristik, dan Klasifikasi Amphibi
Amphibia berasal dari kata Amphibi, artinya rangkap dan bios, artinya kehidupan, karena Amphibia ialah hewan yang hidup dengan dua bentuk kehidupan, mula-mula dalam air tawar, kemudian dilanjutkan di darat. Fase kehidupan di dalam air berlangsung sebelum alat reproduksinya masak, keadaan ini merupakan fase larva atau biasa disebut berudu. Hewan dewasa memiliki columna vertebralis dan biasanya extremitates dengan digiti atau jari-jari yang berbeda-beda. Sedang kulitnya ialah lembut dan tidak berambut, bersisik atau tidak berbulu. Kriteria semacam itu sering tidak dapat dipakai untuk spesies tertentu; beberapa spesies mengalami modifikasi, bahkan tidak mengalami fase larva di dalam air, dan sebaliknya beberapa hewan dewasa tetap bertahan di dalam air. Karena ada beberapa spesies yang hidupnya tetap di dalam air bahkan ada yang sama sekali tidak mengalami kehidupan di dalam air, beberapa ahli sependapat menggunakan nama Batrachia (batrachos= katak), meskipun pemakaian nama itu tidak meluas (Radiopoetro, 1996).
Katak adalah contoh paling representatif yang paling sering dipelajari pada kelas Amphibia, subfilum Vertebrata, filum Chordata. Penting untuk diingat bahwa amphibia adalah hewan transisi yang tipikalnya sebagian hidupnya dihabiskan di air dan sebagian yang lain di darat. Dengan demikian, mereka menunjukkan karakteristik campuran yang mewakili penyesuaian untuk kehidupan terestrial dan beberapa adaptasi untuk kehidupan di dalam air. Perkawinan hampir semuanya terjadi di air, sebab telur yang dihasilkan kekurangan penutup (pelindung luar) yang menyebabkan predator semacam burung dan reptil yang hidup di daratan memangsanya. Beberapa amphibi, bagaimanapun juga, menghabiskan semua hidupnya di air, dan sedikit sekali di daratan, ini merupakan mekanisme perkembangan spesial untuk memproteksi telur mereka dari kekeringan (Lytle & Meyer: 2005).
Amphibia memiliki ciri-ciri umum fase larvanya, kecebong (berudu), bernafas menggunakan insang luar yang kemudian mengalami metamorfosis menjadi anak katak dengan alat pernafasan berupa paru-paru. Ada juga yang tidak mempunyai paru-paru sampai dewasa dan bernafas melalui kulit, karenanya kulit tersebut selalu basah dan glandular (Sukiya, 2005).
                    
Gambar 2.1.1 Fase larva atau berudu       Gambar 2.1.2 Katak dewasa dengan alat pernafasan paru-paru (Limnonectes kuhlii)
Gambar 2.1.3. Katak dewasa dengan alat pernafasan kulit
(Barbourula kalimantanensis)
Kelompok amphibia adalah vertebrata yang hadir pertama kali hidup di darat. Pada dasarnya mereka memiliki pentadaktil (lima ujung jari-jari kaki), meskipun jumlahnya bisa saja berkurang dari lima tersebut. Amphibia sendiri termasuk ektoterm atau yang perubahan suhu tubuhnya tergantung perubahan  suhu lingkungannya. Pada kebanyakan amphibia meninggalkan telurnya dalam kolam  dan di aliran-aliran air dan tidak seekorpun dapat  berjalan di tanah begitu menetas, sedikit spesies yang dapat hidup jauh dari air (Sukiya, 2005).
Amfibia merupakan perintis vertebrata daratan. Paru-paru dan tulang anggota tubuh, yang mereka warisi dari moyang krosopterigia, memberikan sarana untuk lokomosi dan bernapas di udara. Atrium kedua dalam jantung memungkinkan darah yang mengandung oksigen langsung kembali ke dalamnya untuk dipompa ke seluruh badan dengan tekanan yang penuh. Sementara percampuran darah yang mengandung oksigen dengan darah yang kurang mengandung oksigen terjadi dalam ventrikel tunggal, jantung yang beruang tiga itu agaknya memberikan peningkatan yang berarti dalam efisiensi peredaran dan dengan demikian meningkatkan kemampuan untuk mengatasi lingkungan daratan yang keras dan lebih banyak berubah-ubah (Kimball, 1983).
Di daratan, kemampuan untuk mendeteksi suara merupakan hal yang sangat penting, dan amfibia telah mengembangkan telinga sederhana dari struktur yang diwarisinya dari moyang mereka. spirakel tertutup dengan membran yang berfungsi sebagai gendang telingan dan tulang rahang yang tidak terpakai lagi (yang berasal dari lengkung insang agnatha) berguna untuk meneruskan getaran dari membran ini ke telinga dalam. Tulang pendengaran yang paling dalam dari telinga kita (sanggurdi) adalah homolog dengan tulang tadi ini (Kimball, 1983).
Sesuai dengan namanya, amfibia itu hanya separuh hidupnya di daratan (semi terrestrial). Mereka harus kembali ke air untuk bertelur, dan setidak-tidaknya keturunan masa kininya tidak tahan lama terhadap udara kering. Peralihan berkala dari air ke daratan dan sebaliknya menimbulkan masalah tambahan dalam mempertahankan keseimbangan air dan ekskresi limbah nitrogen. Di dalam air, seperti pada ikan air tawar, pemasukan air secara terus-menerus harus dikeluarkan dari glomerulus. Di daratan, air harus dipertahankan dan untuk ini amfibia mengurangi masukan darah ke glomerulus, dan dengan demikian mengurangi laju filtrasi. Tentu saja, hal ini juga mengurangi aliran darah dari glomerulus ke tubulus. Akan tetapi, fungsi tubulus harus dipertahankan dan peningkatan aktivitas portarenal tambahan memungkinkan hal ini (Kimball, 1983).
Untuk ukuran masa kini, amfibia yang paling awal adalah cukup besar (Diplovertebron, panjangnya kurang lebih 60 cm), tetapi beberapa hewan yang kemudian ada mempunyai ukuran yang sungguh menakjubkan. Beberapa contoh fosil berukuran kurang lebih 2,5 m. Amfibia ini berjaya selama zaman karbon. Bumi ditutupi oleh rawa yang luas, kehidupan tumbuhan berlimpah, dan terdapat banyak insekta untuk dimakan oleh amphibia. Zaman ini sering disebut zaman amphibian. Zaman ini diikuti oleh suatu periode (perm) ketika bumi menjadi lebih dingin dan kering. Penurunan kejayaan amphibia terjadi yang berlangsung terus sampai sekarang (Kimball, 1983).
Amfibia (amphibian, Kelas Amphibia) kini diwakili oleh sekitar 6.150 spesies salamander (Ordo Urodela, ‘yang berekor’), katak (Ordo Anura, ‘yang tak berekor’), dan sesilia (Ordo Apoda, ‘yang tak berkaki). Hanya terdapat sekitar 550 spesies Urodela. Beberapa spesies sepenuhnya akuatik, namun yang lain hidup di daratan sepanjang hidupnya atau ketika dewasa. Sebagian besar salamander yang hidup di daratan berjalan dengan tubuh yang meliuk-liuk ke kiri dan kanan, ciri yang diwarisi umum terjadi pada salamander akuatik; axolotl, misalnya, mempertahankan sifat-sifat larva bahkan ketika ia telah matang secara seksual (Campbell, 2012).
Anggota-anggota dari ordo Caudata (Cauda=ekor, Data=menghasilkan) adalah salamander. Mereka sepanjang hidupnya memiliki ekor, dan 2 pasang kaki, yang saat ada, relatif tidak terspesialisasi perkembangannya. Sekitar 115 dari 350 yang telah terdeskripsi hidup di Amerika Utara. Hampir semua Salamander yang terestrial hidup di hutan tropis-sampah tanah dan mempunyai larva yang hidup di air. Beberapa famili dari ordo ini hidup di gua-gua, di mana temperaturnya konstan dan kondisi kelembabannya menciptakan lingkungan yang ideal baginya. Famili Plethodontidae merupakan sepenuhnya salamander terestrial di mana telur-telurnyamereka letakkan di tanah, bukan di air, dan yang muda menetas sebagai miniatur yang dewasa (serupa antara fase muda dan dewasanya) (Miller & Harley: 2001).
Anggota dari famili salamandridae umumnya disebut “kadal liar” (bahasa inggrisnya “newt”). Mereka menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam air dan seringkali tetap menggunakan sirip ekornya.Rentang panjang tubuh salamander mulai dari hanya beberapa sentimeter saja sampai 1,5 meter (salamander raksasa jepang, Andrias japonicus). Salamander Amerika Utara yang terbesar adalah hellbender (Cryptobranchus alleganiensis), yang panjangnya mencapai 65 cm (Miller & Harley: 2001).
             
Gambar 2.1.4. Andrias japonicas              Gambar 2.1.5. Cryptobranchus alleganiensis
Hampir semua salamander melakukan fertilisasi secara internal. Pejantan memproduksi “piramidal”, adalah spermatofor bergelatin (seperti agar-agar) yang ditutupi dengan sperma dan disimpan di substrat. Salamander betina mengumpulkan sperma itu dengan kloaka dan disimpan dalam kantong spesial, yaitu spermatheca. Telur-telur difertilisasi saat melewati kloaka dan biasanya dikeluarkan satu per satu, dalam satu rumpun, atau pula dalam bentuk untaian. Larvanya serupa dengan bentuk dewasanya namun ukurannya lebih kecil. Mereka sering memiliki insang eksternal, sirip ekor, gigi larva, dan lidah rudimenter (belum sempurna). Larva akuatik biasanya bermetamorfosis menjadi salamander dewasa yang hidup di terestrial. Banyak Salamander lain yang mengalami metamorfosis tidak sempurna dan paedomorphic (adanya karakteristik larva pada salamander dewasa) (Miller & Harley: 2001).
Anura, yang berjumlah sekitar 5.420 spesies, lebih terspesialisasi untuk bergerak di daratan daripada Urodela. Katak dewasa menggunakan kaki belakangnya yang kuat untuk melompat-lompat di lapangan. Katak menangkap serangga dan mangsa yang lain dengan menjulurkan lidahnya yang panjang dan lengket, yang melekat ke bagian depat mulut. Katak menunjukkan berbagai macam adaptasi yang membantunya untuk menghindari pemangsaan oleh predator yang lebih besar. Kelenjar-kelenjar kulitnya menyekresikan mukus yang tidak enak atau bahkan berbisa. Banyak spesies yang beracun memiliki warna cerah, yang tampaknya diasosiasikan dengan bahaya oleh para predator. Katak-katak yang lain memiliki pola-pola warna yang dapat menyamarkan mereka (Campbell, 2012).
Ordo Anura (An=tanpa, oura=ekor) atau Salientia termasuk sekitar 3.500 spesies katak dan kodok. Anura hidup di hampir lingkungan tropis, kecuali di lintang atas dan di beberapa kepulauan laut.sedikit beberapa di temukan di daerah kering berpasir. Fase dewasanya tidak memiliki ekor, dan ekor vertebra bergabung menjadi struktur mirip tangkai yang disebut urostyle. Kaki belakangnya panjang serta berotot dan diakhiri dengan kaki berselaput (Miller & Harley: 2001).
Anura memiliki kehidupan sejarah yang beragam. Fertilisasinya hampir selalu dilakukan secara eksternal, dan telur-telur serta larva-larvanya bertipikal akuatik. Fase larvanya disebut kecebong (berudu),mempunyai perkembangan ekor yang baik. Tubuh gemuk mereka tidak berlengan (bertungkai, berkaki) sampai mendekati akhir dari masa larvanya. Tidak seperti bentuk dewasanya, bentuk larva bersifat herbivora dan memiliki proteinaceous, yaitu struktur bagian tubuh yang serupa dengan paruh yang digunakan untuk makan. Larva Anura mengalami metamorfosis yang drastis dan cepat dari bentuk larva hingga bentuk tubuh dewasa (Miller & Harley: 2001).
Perbedaan antara katak dan kodok lebih merujuk pada sisi vernakular (kebiasaan) daripada dilihat dari sisi ilmiahnya. Kodok biasanya merujuk pada Anura dengan kulit yang lebih kering dan berkutil (tidak halus) yang lebih terrestrial daripada anggota lain dari Ordo Anura ini. Beberapa jumlah taxa dengan kekerabatan jauh memiliki karakteristik ini. “Kodok benar” atau “kodok sejati” menjadi milik famili Bufonidae pada Ordo Anura (Miller & Harley: 2001).
Apoda, atau sesilia (sekitar 170 spesies), tidak berkaki dan hampir buta. Sekilas mereka mirip cacing tanah. Ketiadaan kaki merupakan adaptasi kedua, saat mereka berevolusi dari nenek moyang yang berkaki. Sesilia menghuni daerah tropis, tempat sebagian besar spesies meliang di dalam tanah hutan yang lembab. Beberapa spesies Amerika Selatan hidup di kolam air tawar dan sungai kecil (Campbell, 2012).
Anggota ordo Gymnophiona (Gymnos= telanjang, ophineos= seperti ular) adalah sesilia. Jadi nama lain dari Gymnophiona adalah Apoda. Para ahli zoologi telah mendeskripsikan sekitar 160 spesies terbatas hanya pada daerah tropis. Sesilia adalah hewan mirip cacing yang membuat liang dalam tanah yang memakan cacing-cacing dan invertebrata lain di tanah. Sesilia menampakkan segmentasi sebab lipatan di kulit atasnya yang berpisah antara kumpulan otot. Tentakel yag retraktil (mampu kembali ke keadaan semula) di antara mata mereka dan hidung mampu mentransportasi bahan kimia dari lingkungan ke sel-sel penciuman di mulut bagian atas. Kulit menutupi mata, dengan demikian, sesilia mungkin dapat dikatakan hampir buta (Miller & Harley: 2001).
Fertilisasi pada sesilia dilakukan secara internal. Bentuk larvanya sering lewat dalam oviduk, di mana mereka mengikis lapisan dalam oviduk dengan gigi janinnya untuk makan. Sesilia muda muncul dari betina sebagai miniatur sesilia dewasa (antara bentuk muda dan dewasanya mirip). Sesilia lain meletakkan telur-telurnya yang berkembang menjadi larva akuatik atau embrio yang berkembang di tanah (Miller & Harley: 2001).



Berikut adalah klasifikasi kelas Amphibi dalam bentuk tabel:
Kelas
Amphibia
Subkelas
Apsidospondyli
Superordo
   Ordo
   Ordo
Labyrinthodonta
   Temnospondyli
   Anthracosauria
Superordo
   Ordo
   Ordo
Sailentia
    proanura
    Anura (katak dan kodok)
Familia
Ada 17 familia: Pipidae (tongueless frogh), discoglossidae (fire-belly dan midwife toads), Rhinophrynidae (burrowing toads), Pelobatidae (spadefoot toads), leptodactylidae, bufonidae (kodok), rhinodermatidae (mouth-breeding frogh), dendrobatidae, atelopidae, hylidae (tree frogs), centrolenidae, heleophrynidae, pseudidae, ranidae (true frogs), rhacophhoridae, microhylidae, phyronomeridae
Subkelas
    Ordo
    Ordo
    Ordo
Lepospondyli
   Aistopoda
   Nectridia
   Caudate atau Urodela (salamander)
Famlia



    Ordo

Familia
Ada 8 familia: hynobiidae, cryptobranchidae (giant salamanders), ambystomidae, samandridae (newts), amphiumidae,plethodontidae (lunglesssalamander), proteidae (mudpuppies dan olm), sirenidae.
    Gymnophiona atau apoda

Caeciliidae

Kecebong, larva amphibia biasanya merupakan herbivor akuatik dengan insang, sistem gurat sisi yang menyerupai vertebrata akuatik, dan ekor yang panjang dan bersirip. Kecebong pada awalnya tidak memiliki kaki; ia berenang dengan mengibas-ngibaskan ekornya. Selama metamorfosis yang menuju ke ‘kehidupan kedua’, kecebong mengembangkan kaki, paru-paru, sepasang gendang telinga, eksternal, dan sistem pencernaan yang teradaptasi untuk cara makan karnivora. Dalam waktu yang sama, insang menghilang; sistem gurat sisi juga menghilang pada sebagian besar spesies. Anak katak merayap menuju ke pesisir dan menjadi pemburu terestrial. Akan tetapi, terlepas dari namanya, banyak amfibia tidak menjalani kehidupan ganda-akuatik dan terestrial. Ada beberapa katak, salamander, dan sesilia yang sepenuhnya akuatik atau sepenuhnya terestrial. Terlebih lagi, larva salamander dan sesilia lebih mirip dengan bentuk dewasanya, dan biasanya larva maupun hewan dewasa merupakan karnivora (Campbell, 2012).
Sebagian besar amfibia ditemukan di habitat yag lembab seperti rawa-rawa dan hutan hujan. Bahkan amfibia yang telah teradaptasi terhadap habitat yang lebih kering masih menghabiskan banyak waktunya di dalam liang atau di bawah dedaunan lembab yang tingkat kelembabannya tinggi. Amfibia umumnya sangat bergantung pada kulitnya yang lembab untuk pertukaran gas dengan lingkungan. Beberapa spesies terestrial tidak memiliki paru-paru dan hanya bernapas melalui kulit dan rongga mulutnya (Campbell, 2012).
Kebanyakan amfibi membagi hidup mereka antara air tawar dan daratan. Dari kehidupan seperti ini mencerminkan bahwa amfibi memerlukan adaptasi pada kedua lingkungan tersebut. Di dalam air, amfibi mempunyai kemampuan mengapung, hal ini bertujuan untuk proses pertukaran gas dengan air. Sedangkan di darat, amfibi mempunyai kemampuan sendiri untuk melawan gravitasi, pertukaran gas dengan udara, dan cenderung kehilangan air ke udara (Miller & Harley: 2001).
Beberapa ciri khusus pada amphibi adalah pada kulit dan kelenjar kulitnya, warna tubuhnya, pergantian kulitnya, serta alat geraknya. Berikut uraian singkanya:
1.      Kulit dan kelenjar kulit
Kulit amfibi sangat penting dalam respirasi dan proteksi. Kulit terjaga kelembabannya dengan adanya kelenjar mukosa, bahkan pada sepesies yang hidup di air, mukus memberikan pelumas bagi tubuh. Sebagian besar amfibi memiliki kelenjar granular dan kelenjar mukus. Meskipun keduanya mirip dalam beberapa hal, kelenjar granular memproduksi zat obnoxious (menjijikan) atau racun untuk melindungi diri dari musuh (Sukiya, 2005).
Kulit ampibi dewasa lembut dan biasanya lembab. Umumnya ampibi dewasa hidup di lingkungan yang basah atau lembab, sejak mereka sudah mulai rentan untuk kehilangan air di kulitnya. Katak memiliki kulit yang tidak rata yang mampu mengurangi kesempatan untuk kehilangan air dan kemudian menyebabkan mereka dapat menghabiskan banyak waktu di darat(Lytle & Meyer: 25).
Racun yang terdapat amfibi sangat bervariasi. Kodok yang hidup di laut (Bufo marinus) rancunnya sangat manjur untuk membunuh anjing. Kelenjar racun pada katak dan kodook dapat menimbulkan iritasi pada kulit jika seseorang menyentuh binatang ini. Studi tentang katak neotropik dari keluarga Dendrobatide yang beracun, meunjukan bahwa racun itu merupakan steoridal alkaloid yang berefek pada saraf dan aktivitas otot korban. Tipe racun lain pada amfibi adalah neurotoksin, halusinogen, vasokontriktor, hemolitik dan local irritant. Ketika beberapa sepesies amfibi ditempatkan bersama-sama di tempat semmpit, ada sepesies tertentu cepat mati karena racun yang dikeluarkan spesies lain (Sukiya, 2005).
Kelenjar mukus dan granular atau kelenjar racun dikelompokkan sebagai kelenjar alveolar. Kelenjar alveolar adalah kelenjar yang tidak mempunyai saluran pengeluaran, tetapi produknya dikeluarkan lewat dinding selnya sendiri secara alami. Akan tetapi ada juga beberapa amfibi yang mempunyai kelenjar alveolar tubuler, kelenjar demikian ini sering ditemukan di ibu jari pada katak dan kodok dan terkadang juga ditemukan di bagian dadanya. Kelenjar ini menjadi fungsional selama musim reproduksi dan mengeluarkan cairan yang membantu pejantan dalm melekatkan diri ke betina selama musim kawin, bahkan pada salmander terdapat tubular pada dagu pejantannya yang mengeluarkan cairan khusus untuk menarik betina selama musim reproduksi (Sukiya, 2005).
2. Warna tubuh
Amfibi sangat beraneka ragam warnanya, hijau teerang, kuning, orange dan emas, sedangkan warna merah dan biru jarang ditemukan. Warna tubuh amfibi bisa disebabkan oleh karena pigmen atau secara struktural, atau dihasilkan oleh keduanya (paduuan pigmen dan struktural). Pigmen pada amfibi, sebagaimana pada ikan, terletak pada kromatofora di kulit. Sel-sel pigmen ini biasanya dinamakan menurut jenis pigmen yang dikandung. Melanofora mengandung pigmen coklat dan hitam da lipofora mengandung pigmen merah, kuning dan orange. Amfibi juga memiliki sel-sel pigmen yang disebut guanofora, semacam iridosit pada ikan, mengandung kristal guanin yang dapat memproduksi iridesen atau efek putih terang. Umumnya lipofora terletak di dekat permukaan kulit, lebih ke arah dalam terdapat guanofora dan yang paling dalam terdapat melanofora (Sukiya, 2005).
Kromatofora bentuknya agak ameboid dengan prosesus protoplasmik meluas ke luar dari tubuh selnya ke sel lain. Pigmen padasitoplasma dala, kromatofora mampu berpindah sehingga pigmen dapat terkonsentrasi mengumpul untuk menebalkan warna atau terpencar sehingga menipiskan warna. Sel pigmen, khususnya lipofora mampu melakukan gerakan ameboid dan dapat berpindah mendekat atau menjauh dari permkaan kulit. Seringkali perubahan dari hijau ke kuning merupakan hasil kontraksi dari melanofora dan perpindahan lipofora ke posisi antara atau di bawah guanofora (Sukiya, 2005).
Warna pada beberapa amfibi ketika ditempatkan di lingkungan gelap, menjadi tampak bercahaya, adalah merupakan hasil dari simulasi kelenjar pineal menghasilkan melatonin (zat sejenis hormon) yang mampu mengurangi kuantitas cahaya atau sinar gelombang panjang. Kemudian kontak hormon kromatotrofik hipofise yang menyebabkan perluasan melanofora, akibatnya melanofora berkontraksi dan menghasilkan efek tubuh menjadi lebih bercahaya. Percobaan dengan menghilangkan kelenjar pineal (pinealectomized) menyebabkan tubuh katak tersebut tidak bercahaya di tempat gelap. Beberapa amfibi mempunyai pewarnaan yang bersifat protektif (Sukiya, 2005).
3.    Pergantian kulit
Seluruh kulit amfibi terlepas secara periodik. Proses ini berlangsung di bawah kontrol hormon. Lapisan luar kulit tidak hanya satu bagian, tidak sebagaimana pada reptil, teatapi dalm fragmen, meskipun tungkai biasanya utuh dan mengelupas bersamaan. Frrekuensi bergantinya kulit bermacam-macam pada sepesies yang berbeda. Penglupasan kulit pada katak pohon hijau, mungkin terjadi setiap bulan atau lebih (Sukiya, 2005)
4.    Alat gerak (appendages)
Meskipun dipercaya, bahwa ansestor Amphibia mempunyai dua pasang tungkai pentadaktila, ternyata terjadi variasi oleh karena adaptasi untuk hidup di darat, air, arboreal (hidpu di atas pohon) dan di bawah tanah. Semua Caecillia di daerah tropis bertungkai, tubuhnya memanjang (wormlike) dan teradaptasi hidup di liang dengan cara menggali humus atau kayu-kayu yang membusuk (Sukiya, 2005).
Sebagian besar amfibi berekor modern memiliki empat tungkai relatif lemah yang tidak cocok untuk berjalan cepat di tanah. Umumnya, kaki depan memiliki 4 jari dan kaki belakang 5 jari, tetapi pada beberapa sepesies terjadi pengurangan (Sukiya, 2005).
Secara umum katak dan kodok, jumlah jari tungkai depan biasanya 4 buah, tungkai belakang memanjang dan biasanya untuk melompat. Kebanyakan katak dan kodok memiliki 5 jari pada tungkai belakang dan jari tambahan di ketahui sebagai perhaluk pada sisi ventral kaki. Perhaluk ini pada Spadefoot ( katak penggali tanah) berupa tulang-tulang yang tajam yang digunakan menggali, untuk bersembunyi di dalam tanah. Beberapa jenis katak arboreal mempunyai jari lebih lebar dan advise. Meskipun ada sejumlah amfibi bertanduk, tetapi jarang ditemukan jari-jarinya tumbuh kuku kecuali latak di Afrika dan salmander yang hidup di pengunungan (Sukiya, 2005).
Ada berbagai variasi struktur kaki belakang Anura, ada yang berselaput meluas sampai ke jari dan yang lainnya ada tetapi tidak sampai meluas ke jari atau bahkan tidak ada sama sekali. Anura tidak mampu melakukan regenerasi tungkai ataupun jari yang hilang, tetapi pada salamander mampu melakukannya (Sukiya, 2005).
Tetrapoda (berkaki empat, beberapa amphibi) bergantung pada tubuh anggota gerak (appendages) ketimbang dinding tubuh untuk lokomosi. Dengan demikian dinding tubuh tereduksi dan  otot-otot appendikular mendominasi. Salamander menggunakan bentuk lokomosi yang relatif tak terspesialisasi yang mengingatkan pada lokomosi bentuk ombak yang dimiliki ikan di sekitar tubuhnya. Salamander terrestrial juga bergerak dengan pola tungkai dan pergerakan tubuh yang mana pergerakan alternatif dari apendages hasil dari kontraksi otot yang melemparkan tubuh pada tikungan untuk memajukan langkah dari tungkai. Sesilia memiliki pergerakan seperti akordeon yang mendekatkan bagian-bagian tubuh untuk melakukan gerakan tarik atau dorong ke depan dalam waktu yang sama (Miller & Harley, 2001).
Tungkai belakang yang panjang dan panggul Anura termodifikasi untuk melompat. Tulang dorsal pada pelvis (ilium) memanjang ke depan dan dengan hati-hati melekat pada vertebral column, dan urostyle memanjang ke belakang dan melekat pada panggul. Modifikasi tulang ini mengeraskan setengah dari bagian posterior tubuh Anura. Tungkai belakang yang panjang danbentuk otot yang bertenaga merupakan sistem pengungkit yang efisien untuk melompat. Jaringan penghubung yang elastis dan otot-otot melekat pada pectoral ke tengkorak dan vertebral column, dan berfungsi sebagai peredam kaget untuk pendaratan yang dilakukan dengan tungkai depan (Miller & Harley, 2001).
Selain menunjukkan ciri-ciri keampibiannya, mereka (spesies kelas amphibi) juga menunjukkan beberapa ciri-ciri yang aneh untuk gaya hidup mereka. Salamander merupakan spesies yang paling menunjukkan tipikal ciri-ciri ampibia. Beberapa dari ciri-ciri spesial dari bentuk dewasanya adalah: 1. Tidak memiliki ekor 2. Kehilangan beberapa tulang tengkorak 3. Bagian anterior lidah 4. Tidak adanya tulang-tulang rusuk 5. Leher yang tampak kurang jelas 6. Kaki belakang yang tinggi dan kuat (Lytle & Meyer: 2005).
Selama 25 tahun terakhir, para ahli zoologi telah mendokumentasikan penurunan populasi-populasi amfibia yang cepat dan menghawatirkan di seluruh dunia. Tampaknya terdapat beberapa penyebab, antara lain lenyapnya habitat, penyebaran fungi (kitrid) patogen, perubahan iklim, dan polusi. Faktor-faktor ini dan faktor yang lain tidak hanya mengurangi populasi namun juga menyebabkan kepunahan. Sebuah penelitian tahun 2004 mengindikasikan bahwa sejak 1980, setidaknya spesies amfibia telah punah. Sebanyak 139 spesies lain tidak pernah terlihat sejak saat itu dan dianggap ‘barang kali punah’ (Campbell, 2012).           


2.2  Sistem Rangka dan Otot Amphibi
Skeleton pada katak terdiri dari tulang utama dan tulang rawan. Skeleton mendukung berbagai bagian dari tubuh, menjaga organ-organ penting seperti otak dan sumsum tulang, serta sebagai pelekatan otot. Skeleton pada vertebrata terdiri dari skeleton tubuh (somatik: skeleton dinding tubuh dan anggota badan) dan skeleton viseral (skeleton dinding faringeal-dimiliki oleh ikan sebagai pendukung insang dan sebagai bagian dari rahang, namun kebanyakan tereduksi pada vertebrata tingkat tinggi). Pada katak, skeleton viseral secara prinsip diwakili oleh apparatus hyoid , adalah tulang kecil dengan struktur yang rawan yang membantu mulut bagian dasar, yaitu di dasar lidah, bagian dari rahang dan laring (Lytle & Meyer: 2005).
Amfibi mempunyai tengkorak yang tebal dan luas secara proporsional, kebalikan dari ikan. Tengkorak amfibi modern mempunyai tulang-tulang premaksila, nasal, frontal, parietal dan skuamos (Sukiya, 2005).
Tengkorak katak terdiri dari 3 bagian utama yaitu 1) kranium 2) pasangan kapsul sensori dari telinga, hidung, dan rongga mata yang lebar,  3) skeleton viseral (terdiri dari bagian rahang, apparatus hyoid, dan kartilago laringeal) (Lytle & Meyer: 2005).
Kebanyakan permukaan dorsal dari tubuh Anura tidak seluruhnya tertutup tulang. Bagian dari kondrokanium masih belum mengearas, hanya daerah okspital dan eksoksipitalnya mengeras, dan masing-masing memiliki kondila bertemu dengan vertebrata pertama. Tidak ada langit-langit/ palatum pada amfibi, akibatnya neres internal lebih maju di dalam langit-langit mulut. Di bagian ventral otak di tutupi oleh tulang dermal dinamkan parasfenoid. Gigi ada pada permaksila, maksila, paltine, vomer, parasvenoid, dan tulang dental. Ada beberapa amfibi yang sama sekali tidak memiliki gigi, atau gigi pada rahang bawah mereduksi (Sukiya, 2005).
Kelompok vertebra memiliki 10 tulang belakang (vertebra). Tulang belakang  pertama adalah atlas, berhubungan dengan dasar dari tulang tengkorak. Bagian ini tidak memiliki proses atau pergerakan melintang (transversal) dan hanya pergerakan servikal  vertebra (leher) di katak. Tulang belakang ketujuh selanjutnya adalah vertebra abdomina (abdomen). Ekor menuju abdomen vertebra adalah sacrum yang luas dengan dua proses atau pergerakan transversal yang kuat yang bergabung dengan ileum (Lytle & Meyer: 2005).
Jumlah ruas tulang pada amfibi bervariasi dari 10 ruas pada salientina sampai 200 pada gymnophiona. Tengkorak bersendi dengan tulang tengkuk, jumlah vertebrata kaudal bervariasi. Pada salientia ada satu elemen vertebra yang mengalami elongasi (memanjang) dinamakan urostile yang memanjang dari sacrum ke ujung posterior pelvis (Sukiya, 2005).
Bangsa amfibia merupakan vertebrata yang pertama mempunyai sternum (tulang dada) tetapi perkembangannya kurang sempurna. Tulang iga hanya pendek dan kurang berkembang sehingga tidak berhubungan dengan sternum seperti yang terjadi pada reptil, burung atau pada mamlia (Sukiya, 2005).
Sebagian besar amfibi mempunyai dua pasang tungkai dengan 4 jari kaki pada kaki depan dan 5 jari pada kaki belakang. Jumlah jari mungkin ada yang berkurang sebanyak dua buah. Tungkai belakang berkurang seperti pada salamander, dan pasangan tungkai tidak ada pada cecillia. Tungkai biasanya tidak mempunyai kuku, tetapi ada semacam tanduk pada jari-jarinya (Sukiya, 2005).
Sistem otot pada amfibi, seperti sistem-sistem organ yang lain, seperti transisi antara ikan dan reptil. Sistem otot pada ikan terpusat pada gerakan tubuh ke lateral, membuka dan menutup mulut serta gill apertura( Operculum atau penutup lubang/ celah ingsang)  dan gerakan sirip yang relatif sederhana (Sukiya, 2005).
Sistem otot aksial pada amfibi masih metamerik seperti pada ikan tetapi tampak tanda-tanda perbedaan, sekat horisontal membagi otot dorsal dan ventral, Bagian dari sistem otot epaksial pembagian otot-otot setiap segmen tubuh amfibi. Sedangkan otot hipaksial terlepas atau terbagi dalam lapisan-lapisan kemudian membentuk otot-otot oblique internal dan otot tranversus, Sedangkan otot dermal sangat kurang, Macam- macam gerakan pada amfibi yaitu berenang, berjalan, meloncat atau memanjat, melibatkan perkembangan berbagai tipe otot. Beberapa diantaranya terletak dalam tungkai dan berupa otot-otot intrinsik (Sukiya, 2005).
Air menahan dan mendukung hewan akuatik. Fungsi utama kerangka ikan adalah melindungi organ-organ internal, menyediakan tempat sebagai pelekatan otot, dan mencegah tubuh dari runtuh saat bergerak. Namun, pada vertebrata terrestrial kerangka dimodifikasi untuk memberikan dukungan dalam melawan gravitasi dan harus cukup kuat untuk mendukung otot yang relatif penuh kekuatan untuk menggerakkan vertebrata terrestrial menyusuri daratan. Tengkorak amphibi berbetuk datar, relatif lebih kecil, dan memiliki sedikit elemen tulang daripada tengkorak ikan. Hal ini dapat membantu amphibi saat keluar dari air. Berubahnya struktur rahang dan otot menjadikan vertebrata terrestrial dapat menghancurkan mangsa yang didapatnya di dalam mulut (Miller & Harley, 2001).
Vertebral column pada amphibi termodifikasi untuk mendukung dan agar fleksibel saat di darat. Perilaku ini seperti lengkungan pada jembatan untuk mendukung berat tubuh antara anterior dan posterior pasangan appendages. Proses dukungan ini disebut zygapophyses pada tiap vertebra mencegah tubuh mereka meliuk/ tidak tegak dan kokoh. Tak seperti ikan, amphibi memiliki leher. Tulang belakang pertama adalah cervical vertebra, yang bergerak berlawanan dengan belakang tengkorak dan menjadikan kepala dapat mengangguk secara vertikal.tulang belakang yang terakhir adalah sacral vertebra. Tulang belakang ini melabuhkan panggul pada vertebral column untuk memberikan dukurang tambahan. Piringan ventral tulang, disebut sternum, berada pada daerah anterior ventral batang tubuh dan mendukung tungkai depan serta melindungi organ-organ dalam. Bagian yang ini tidak ada atau tereduksi pada Anura (Miller & Harley, 2001).
Asal-usul tulang vertebrata appendages (tulang anggota gerak) tidak diketahui secara pasti. Namun, kesamaan dalam struktur tulang-tulang appendages amfibi dan tulang-tulang sirip ikan purba sarcopterygian kemungkinan homolog. Sendi pada bahu, pinggul, siku, lutut, pergelangan tangan, dan pergelangan kaki memungkinkan dapat bergerak bebas dan dapat berkontak langsung dengan substrat. Bagian panggul amfibi terdiri dari tiga tulang (ilium, ischium, dan pubis) yang dengan kuat melekatkan panggul pada vertebral columnar. Tulang-tulang ini ada pada semua tetrapoda, tetapi tidak pada ikan (Miller & Harley, 2001).
            
Gambar 2.2.1 Rangka Amphibi               Gambar 2.2.2 Otot Amphibi

2.3  Sistem Sirkulasi Amphibi
Pada katak, bentuk jantungnya adalah beruang tiga; dan sistem sirkulasi yang menunjukkan dua jalur yaitu sistem divisi untuk menyuplai organ tubuh dan pulmonal divisi untuk membawa darah menuju dan dari paru-paru (Lytle & Meyer: 2005).
Sistem sirkulasi pada amphibi menunjukkan adaptasi yang luar biasa untuk kehidupannya yang terbagi antara habitat akuatik dan terestrial. Pemisahan paru-paru dan sistemik sirkuit dianggap kurang efisien pada amphibi ketimbang ikan. Atrium terbagi secara sebagian pada Urodeles dan  terbagi secara sempurna pada Anura. Ventrikelnya tidak memiliki septa. Katub spiral pada conus arteriosus atau pada ventral aorta membantu mengarahkan darah pada paru-paru dan sistemik sirkuit. Sebagaimana yang didiskusikan nanti, pertukaran gas pada kulit pada amphibi, sama baiknya dengan pertukaran gas di paru-paru. Oleh karena itu, darah memasuki jantung bagian kanan hampir sama terisinya dengan baik oleh oksigen dengan darah yang memasuki jantung dari paru-paru! Ketika amphibi benar-benar tenggelam, semua pertukaran gas terjadi di seluruh kulit dan permukaan yang lembab lain dari tubuhnya; leh sebab itu, darah datang dari atrium kanan memiliki oksigen dengan konsentrasi tinggi daripada darah yang kembali pada atrium kiri dari paru-paru (Miller & Harley: 2001).
Sebagian besar amfibi mempunyai masalah untuk mengisi jantung yang menerima oksi dari paru-paru dan darah deoksi yang tidak mengandung oksigenn dari tubuh. Amfibi mengembangkan darahnya ke arah sistem sirkulasi transisional. Dan jantung mempunyai sekat interatria, kantong Vertikular, dan pembagian konus arteriosus dalam pembuluh sistematik dan pembuluh pulmonari.Darah  dari tubuh masuk ke atrium kanan dari sinus  venosus kemudian masuk ke sisi kanan ventrikel, dan dari sini di pompa ke paru-paru.  Darah yang mengandung oksigenj dari paru-paru masuk ke atrium kiri lewat vena pulmonalis kemudian menuju ke sisi kiri ventrikel untuk dipompa menuju ke seluruh tubuh. Beberapa pengecualian terjadi pada salamander yang tidak mempunyai paru-paru, dan dimana celah interatrial tidak lengkap dan vena pulmonalis tidak ada (Sukiya, 2005).
                        Kebanyakan pada amfibi pasangan arkus aorta pertama, kedua dan kelima hilang, Arkus aorta keempat merupakan sistem arkus yang menuju ke posterior berupa dorsal aorta. Bagian proksimal dari pasangan keenam arkus aorta kulit diamana aerasi terjadi. Sistem venosus pada amfibi sangat mirip pada paru-paru ikan, kecuali pada vena abdominal masuk sistem portal hepatik ke sinus venosus (Sukiya, 2005).
Gambar 2.3.1 Sistem Sirkulasi Amphibi
2.4  Sistem Pencernaan Amphibi
Kebanyakan amphibia dewasa adalah karnivora yang memakan berbagai varietas dari hewan invertebrata. Diet beberapa Anura, bagaimanapun juga, lebih beragam. Misalnya, bullfrog akan memangsa mamalia kecil, burung, dan anggota Anura lain. Faktor utama yang menentukan apa  yang akan amphibia makan adalah berdasarkan ukuran dan ketersediaan mangsa. Hampir semua larva adalah herbivora dan memakan alga serta tanaman lain. Kebanyakan amphibi mencari mangsa mereka dengan mengandalkan penglihatan dan dengan gampang menunggu mangsa hingga lewat. Organ penciuman pada salamander akuatik dan sesilia memainkan peran penting dalam mendeteksi mangsa. Banyak salamander secara relatif tidak terspesialisasi dalam metode makan-memakan mereka. hanya menggunakan rahang mereka untuk menangkap mangsa (Miller & Harley: 2001).
Anura dan Plethodontid salamander, bagaimanapun juga, menggunakan lidah dan rahang dalam mekanisme menjentik dan menangkap mangsa. Lidah yang sesungguhnya baru nampak pada hewan amphibi. Lidah amphibi menempel pada pinggiran depan rahang dan mampu melipat kembali ke mulut bagian bawah. Mukus dan kelenjar buccal yang berada di ujung lidah mengeluarkan sekret yang lengket. Ketika mangsa datang dalam jangkauan, amphibia menekuk lututnya ke depan dan mengeluarkan lidahnya. Lidahnya menjulur panjang, dan rahang bawahnya tertekan. Kepalanya miring menuju servikal vertebranya, yang membantunya melancarkan serangan. Ujung lidahnya menjebak mangsa, kemudian lidah dan mangsanya tadi kembali masuk dalam mulut. Segalanya tadi terjadi hanya dalam 0,05 sampai 0,15 detik! Amphibia menerkam mangsanya dengan cara menekannya dengan gigi pada mulut bagian atas, dan lidah serta otot-otot lain pada mulut mendorong makanan menuju esofagus. Matanya mengarah ke bawah ketika menelan dan membantu dalam mendorong makanan menuju esofagus (Miller & Harley: 2001).
Katak air butuh sedikit kelenjar oral, karena makanan katak berada di air sehingga tidak memerluakan banyak kelenjar mukus dimulut. Kelenjar-kelenjar tersebut berada pada lidahnya yang digunakan untuk menangkap mangsa. Amfibi darat juga memiliki kelenjar intermaksilari pada dinding mulutnya. Beberapa amfibi yang lidahnya tidak dapat bergerak, tetapi sebagian besar bangsa amfibi mempunyai lidah yang dapat dijulurkan keluar ( prostusible tongue ) serta pada katak dan kodok lidah digulung kebelkang bila tidak digunakan. Esofagus pendek dapat dibedakan dari lambung, Usus menunjukan berbagai variasi , pada Celcillia menunjukan ada gulungan kecil dan tidak dibedakan antara usus kecil dan usus besar, pada katak dan kodok terdapat usus yang relatif panjang, menggulung membuka ke kloaka (Sukiya, 2005).
Gambar 2.4.1 Sistem Pencernaan Amphibi

2.5 Sistem Pernafasan Amphibi
Selama  tahap larva sebagian besar amfibi bernafas dengan insang. Insang ini bukan tipe internal seperti pada ikan, tetapi insang eksternal.Struktur insang luar adalah filamenous, bertutup epitelium bersilia, umumnya mereduksi selama metamorphosis. Beberapa amfibi berekor, insang luar ini ada selama hidupnya (Sukiya, 2005).
Masalah fisiologis dari metamorphosis amfibi yang berubah dari kehidupan larva akuatik kekehidupan katak dewasa di darat, memang menarik untuk dipelajari. Umumnya pada larva akuatik, kadar hemoglobin lebih rendah sebagai akibat sedikitnya sirkulasi eritrosit sehingga insang lebih efisien, sebab secara umum aktivitas di lingkungan air lebih sedikit dibandingkan di darat (Sukiya, 2005).
Struktur paru-paru pada amfibi masih sederhana. Amfibi yang hidup di air, permukaan dalam dari paru-paru lembut, tetapi sebagian besar dinding paru-paru pada katak dan kodok berisi lipatan alveoli sehingga meningkatkan permukaan pernafasan. Beberapa amfibi dari ordo Caudata memiliki trakhea pendek, disokong oleh kartilago terbagi dalam dua cabang yang membuka kearah paru-paru. Ujung dari trakhea atas diperluas, khususnya pada katak dan kodok, untuk membentuk larink atau voice box (sakusvocalis = kotaksuara), dimana pita suara berada. Pertemuan antara farink dan larink disebut glottis. Pada umumnya udara dipompa ke dalam paru-paru melalui proses yang sederhana. Sebagian besar amfibi bernafas melalui kulit, tetapi salamander ketika dewasa mendapatkan oksigen melalui kulit dan epitelium oral. Oleh sebab itu, berarti kulit harus dijaga kelembabannya. Amfibi darat dalam menjaga kelembaban tubuh ini dilengkapi dengan sejumlah kelenjar rmukus yang didistribusikan dari permukaan tubuh (Sukiya, 2005).
                                       
Gambar 2.5.1 Sistem Pernafasan Amphibi
2.6  Sistem Urogenital Amphibi
Ginjal amfibi, seperti pada ikan sejenis opistonefros. Amfibi berekor ginjalnya berstruktur elongasi seperti pada Elasmobranchiite tapi pada sejenis Anura ada tendensi menjadi pendek. Banyak amfibi sebagian atau seluruh hidupnya berada dalam air, korpus kelrenalis berkembang untuk membantu mencegah pengenceran yang berlebihan dari cairan tubuh. Pembuluh arkinefrik amfibi jantan berupa genital ekskretori. Pembuluh arkinefrik tersebut hanya melekukan transport sperma (Sukiya, 2005).
Bangsa Amphibia, kemihnya telah berkembang daripada yang ditemui pada ikan. Secara umum kandung kemih tersebut hasil dari perluasan ujung pembuluh arkinefrik distal melewati pembuluh ginjal menuju kloaka, dari sini kemudian ke penampung urine. Pada amfibi darat, air dari urine yang terkumpul diserap kembali pada waktu tertentu untuk mengimbangi kelembaban kulit yang berkurang. Amfibi yang banyak menghabiskan waktu di dalam tanah, seperti spadefoot toad (Scaphious), dapat menyerap air dari tanah selama tekanan osmotik cairan tubuh lebih tinggi dari pada tegangan air dalam tanah. Berikut ini adalah gambar dari sistem urogenital katak jantan dan katak betina (sumber: kinantan, 2010):
Gambar 2.6.1 Organ-organ Urogenital Katak
Indung telur pada amfibi berpasangan dan berisi rongga yang di dalamnya berisi getah bening. Oviduk juga berpasangan meskipun di daerah distal menyatu. Seringkali ujung distal masing-masing oviduk diperluas ke uterus membentuk struktur ovisak sebagai tempat penyimpanan ova secara temporer sebelum dikeluarkan atau untuk perkembangan embrio pada spesies ovoviviparous. Kelenjar yang mengeluarkan jelli untuk melumuri telur-telur biasanya berada di dalam oviduk (Sukiya, 2005).
Testis berpasangan dan berhubungan langsung atau dihubungkan tubulus mesonefrik ke kloaka, tidak ada organ kopulasi spesial.Pada kodok ada suatu struktur yang disebut organ Bidder terletak di anterior setiap testis (Sukiya, 2005).
2.7  Sistem Saraf dan Indera Amphibi
Sistem saraf amfibi pada dasarrya sama seperti pada ikan. Pusat kegiatan otak berada pada bagian dorsal otak tengah, di mana sel-sel saraf (lapisan abu-abu) terkonsentrasi di dalam tektum. Telencefalon secara alami merupakan bagian penciuman, sehingga memperluas hemisfer cerebral. Lineal body ditemukan pada semua amfibi, tetapi Anura memiliki parietal body atau ujung organ pineal. Karena amfibi bergerak lamban, maka cerebellum sangat kecil kecuali pada Caecilia. Hanya ada 10 saraf kranial. Akar dorsal dan ventral dari saraf spinal bergabung melalui foramen intervertebra (Sukiya, 2005).
Sistem saraf pada amfibi menurut (Jasin, 1992) terdiri atas sistem saraf sentral dan system saraf periforium. Sistem saraf sentral terdiri dari : encephalon (otak) dan medulla spinalis. Enchephalon terdapat pada kotak otak (cranium). Pada sebelah dorsal akan tampak dua lobus olfactorium menuju saccusnasalis, dua haemisperiumcerebri atau cerebrum kanan kiri yang berbentuk ooid yang dihubungkan dengan comisure anterior, sedangkan bagian anteriornya bergabung dengan dienchepalonmedialis. Di bagian belakang ini terdapat dua bulatan lobusopticus yang ditumpuk otak tengah (mesenchepalon) sebelah bawahnya merupakan cerebreum (otak kecil). Dibelakang terdapat bagian terbuka sebelah atas yakni medulla oblongata yang berhubungan dengan medulla spinalis dan berakhir di sebelah feliumterminale (Sukiya, 2005).

Gambar 2.7.1 Sistem Saraf Amphibi
Organ perasa pada amfibi, tidak seperti pada ikan, terbatas pada dinding mulut dan lidah. Khoane internal, apertural nasal berfungsi sebagai penciuman tetapi juga untuk saluran udara. Biasanya epitelium olfaktori lembut dan terbatas pada bagian dorsal nasal. Sturktur olfaktori yang lain pada amfibi adalah organ Jacobson (organ vameronasal). Organ tersebut dipercaya menjadi alat bantu dalam merasakan makanan. Organ ini juga penting dalam tingkah laku reproduksi, karena aksi pertama adalah hewan jantan menyentuh hidung, kepala dan leher betinanya (Sukiya, 2005).
Jika diperhatikan bentuk tengkoraknya luas dan datar dengan mulut yang lebar, lubang hidung, dua mata yang mencolok dan membran timpani yang sirkular berada di belakang mata. Batas matanya adalah kelopak mata bawah yang besar dan kelopak mata atas yang tidak mencolok. Kelopak mata ketiga merupakan kelopak dalam yang jernih yaitu membran nictitating , membantu dalam menjaga mata agar tetap lembab ketika katak berada di darat dan juga membantu menjaga mata dari abrasi ketika berada di air (Lytle & Meyer: 2005).
Mata amfibi juga seperti pada Vertebrata lain. Lensa mata tetap dan tidak berubah kecembungnnya untuk jarak pandang yang relatif jauh,mungkin berpindah maju ke depan saat melihat objek yang dekat, dengan akomodasi otot-otot lensa yang kecil. Pupil apertura mungkin vertikal, horizontal, tiga sudut atau empat sudut. Kelopak mata kurang bagus bagi yang di air tetapi berkembang bagus pada sepesies yang hidup di darat. Kelopak bagian bawah biasanya lebih mudah bergerak daripada bagian atas. Karena kornea mata amfibi darat menjadi kering akibat evaporasi, maka perlu di basahi dengan cairan yang dihasilkan oleh kelenjar Harderian. Lacrimal atau kelenjar air mata pada amfibi, kurang bagus perkembangannya (Sukiya, 2005).
Parietal dan pinael body berfungsi sebagai fotoreseptor, sensitif terhadap gelombang panjang dan intensitas cahaya, berperan dalam termorgulasi dan orientasi arah. Fotoreseptor pada gelombang panjang juga terdapat pada kulit katak dan salamander (Sukiya, 2005).
Ada berbagai macam alat pendengaran pada amfibi. Salmander dan golongannyatidak punya pendengaran tengah, meski salmander dipercaya dapat mendeteksi vibrasi. Katak dan kodok mempunyai pendengaran tengah dan gendang telinga. Saura di transmisikan dari gendang telinga melaui lubang timpani ke teligna dalam melewati sebuah tulang yang disebut kollumela. Kollumela homolog dengen elemen hiomandibula dari arkus insang pada ikan tulang rawan. Di bagian ventral sakulus pada telinga dalam ventral outpocketing yang di sebut lagena (seperti kohlea mamal), dan diyakini menjadi resepsi vibrasi suara. Linea lateralis ada pada larva amfibi dan bahkan ditemukan pada katak dewasa untuk sepesies katak yang hidup di air. Secra struktural linea lateralis itu seperti pada ikan (Sukiya, 2005).
2.8  Sistem Reproduksi dan Endokrin Amphibi
Fertilisasi berlangsung secara eksternal pada sebagian besar amfibia; jantan memegang erat-erat betina dan menumpahkan spermanya di atas telur-telur yang sedang dikeluarkan oleh betina. Amfibia biasanya bertelur di dalam air atau dilingkungan darat yang lembab. Telur tidak memiliki cangkang dan cepat mengering di dalam udara kering. Beberapa spesies amfibia bertelur dalam jumlah yang sangat banyak di kolam sementara, dan mortalitas telurnya tinggi. Sebaliknya, spesies-spesies yang bertelur dalam jumlah yang relatif sedikit dan menunjukkan berbagai macam pengasuhan anak. Bergantung pada spesies, jantan atau betina, mungkin membawa telur-telurnya di punggung, di dalam mulut, atau bahkan di dalam lambung. Katak-katak pohon tropis terbentuk mengaduk-aduk massa telurnya menjadi jaring-jaring berbuih yang tahan kekeringan. Ada pula spesies ovovivipar dan vivipar yang menyimpan telur-telurnya di dalam saluran reproduksi betina, tempat embrio dapat berkembang tanpa mengalami kekeringan (Campbell, 2012).
Banyak amfibia menunjukkan perilaku sosial yang kompleks dan beraneka ragam, terutama selama musim kawin. Katak biasanya diam, namun jantan pada kebanyakan spesies bersuara untuk mempertahankan wilayah kawinnya atau untuk menarik betina. Pada beberapa spesies, migrasi ke tempat perbiakan tertentu mungkin melibatkan komunikasi suara, navigasi selestial, atau sinyak kimiawi (Campbell, 2012).
Sistem endokrin pada amfibi mirip pada vertebrata tingkat tinggi. Kelenjar paratiroid ada (tidak ada pada ikan), sebagai regulator kalsium dalam sistem  endokrin. Kelenjar adrenal, korteks dan medulla bergabung tidak terpisah seperti pada ikan. Kelenjar tiroid tidak hanya mengatur aktivitas metabolsime tubuh tetapi dipercaya sangat penting dalam mempengaruhi periode penglupasan lapisan luar kulit (Sukiya, 2005)
Hormon tiroksin yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid meregulasi metabolisme pada katak, manusia, dan vertebrata yang lain. Akan tetapi, tiroksin memiliki efek tambahan dan berbeda pada katak, yaitu merangsang resorpsi ekor kecebong dalam metamorfosisnya menjadi dewasa (Campbell, 2010).
Gambar 2.8.1 Sistem Reproduksi Amphibi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Makalah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Amphibia ialah hewan yang hidup dengan dua bentuk kehidupan, mula-mula dalam air tawar, kemudian dilanjutkan di darat.
2.      Ciri khusus pada amphibi adalah pada kulit dan kelenjar kulitnya, warna tubuhnya, pergantian kulitnya, serta alat geraknya.
3.      Amfibia (amphibian, Kelas Amphibia) kini diwakili oleh sekitar 6.150 spesies salamander (Ordo Urodela, ‘yang berekor’), katak (Ordo Anura, ‘yang tak berekor’), dan sesilia (Ordo Apoda, ‘yang tak berkaki).
4.      Sistem rangka amphibi yakni jumlah ruas tulang pada amfibi bervariasi pada gymnophiona. Tengkorak bersendi dengan tulang tengkuk, jumlah vertebrata kaudal bervariasi. Pada salientia ada satu elemen vertebra yang mengalami elongasi (memanjang) dinamakan urostile yang memanjang dari sacrum ke ujung posterior pelvis. Sebagian besar amfibi mempunyai dua pasang tungkai dengan 4 jari kaki pada kaki depan dan 5 jari pada kaki belakang.
5.      Sistem otot pada amfibi, seperti sistem-sistem organ yang lain, seperti transisi antara ikan dan reptil.
6.      Sistem sirkulasi Amphibi yakni bentuk jantungnya adalah beruang tiga; dan sistem sirkulasi yang menunjukkan dua jalur yaitu sistem divisi untuk menyuplai organ tubuh dan pulmonal divisi untuk membawa darah menuju dan dari paru-paru.
7.      Sistem pencernaan Amphibi mempunyai lidah yang dapat dijulurkan keluar ( prostusible tongue ) serta pada katak dan kodok lidah digulung kebelakang bila tidak digunakan. Esofagus pendek dapat dibedakan dari lambung, Usus menunjukan berbagai variasi , pada Celcillia menunjukan ada gulungan kecil dan tidak dibedakan antara usus kecil dan usus besar, pada katak dan kodok terdapat usus yang relatif panjang, menggulung membuka ke kloaka.
8.      Sistem pernafasan Amphibi yakni Selama  tahap larva sebagian besar amfibi bernafas dengan insang. Insang ini bukan tipe internal seperti pada ikan, tetapi insang eksternal. Ketika tahap dewasa bernafas dengan paru-paru, tetapi struktur paru-paru pada amfibi masih sederhana. Dan sebagian besar amfibi bernafas melalui kulit, tetapi salamander ketika dewasa mendapatkan oksigen melalui kulit dan epitelium oral.
9.      Sistem urogenital Amphibi yakni ginjal amfibi, seperti pada ikan sejenis opistonefros. Amfibi berekor ginjalnya berstruktur elongasi seperti pada Elasmobranchiite tapi pada sejenis Anura ada tendensi menjadi pendek. Bangsa Amphibia, kemihnya telah berkembang daripada yang ditemui pada ikan. Secara umum kandung kemih tersebut hasil dari perluasan ujung pembuluh arkinefrik distal melewati pembuluh ginjal menuju kloaka, dari sini kemudian ke penampung urine.
10.  Sistem saraf amfibi pada dasarrya sama seperti pada ikan. Pusat kegiatan otak berada pada bagian dorsal otak tengah, di mana sel-sel saraf (lapisan abu-abu) terkonsentrasi di dalam tektum
11.  Organ perasa pada amfibi, tidak seperti pada ikan, terbatas pada dinding mulut dan lidah. Khoane internal, apertural nasal berfungsi sebagai penciuman tetapi juga untuk saluran udara.
12.  Fertilisasi berlangsung secara eksternal pada sebagian besar amfibia; jantan memegang erat-erat betina dan menumpahkan spermanya di atas telur-telur yang sedang dikeluarkan oleh betina.
13.  Sistem endokrin pada amfibi mirip pada vertebrata tingkat tinggi. Kelenjar paratiroid ada (tidak ada pada ikan), sebagai regulator kalsium dalam sistem  endokrin. Kelenjar adrenal, korteks dan medulla bergabung tidak terpisah seperti pada ikan. Kelenjar tiroid tidak hanya mengatur aktivitas metabolsime tubuh tetapi dipercaya sangat penting dalam mempengaruhi periode penglupasan lapisan luar kulit.






            DAFTAR PUSTAKA
Campbell, A Neil, dkk. 2010. Biologi Jilid III Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga
Campbell, A Neil, dkk. 2012. Biologi Jilid II Edisi Delapan. Jakarta: Erlangga
Jasin, Maskoeri.  1992. Zoologi Vertebrata. Jakarta: SinarWijaya
Kimball, John W. 1991. Biologi Jilid 3 Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Lytle, C. F & Meyer, John R. 2005. General Zoology Laboratory Guide Fourteenth Edition. New York: Mc Graw Hill.
Miller, H. 2001. Zoology Fifth Edtion. New York: Mc Graw Hill.
Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Malang: UM Press.