Sabtu, 21 Maret 2015

Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah serta Ajarannya

Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah serta Ajarannya

DosenPengampu:
Abd.Rozaq.M.Ag

Kelompok7:
Herlina Dwi Aprilia (13620117)
Army Purwanti          (13620118)
Nurul Baroroh           (13620119)




JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015



KATA  PENGANTAR
بسم الله الرحمن الحيم
            Puji  Syukur  penulis  panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah serta Ajarannya dengan  tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah TEOLOGI ISLAM .Penulisan makalah ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak  langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Abd. Rozaq  M.Ag sebagai dosen pengampu mata  kuliah TEOLOGI  ISLAM.
2.      Orang  tua yang telah banyak memberikan dukungan dan sumbangan moral maupan material.
3.      Teman-teman yang telah banyak membantu  penulisan  makalah  ini, sehingga dapat terselesaikan  dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa dalam  menyusun  makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun  sangat  penulis  harapkan  demi  perbaikan  dan  kesempurnaan makalah  ini. Semoga  laporan  ini  bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan

Malang, 18 Maret 2015

Penulis




DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
            BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................... 2
1.3  Tujuan................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Faham Asy’ariyah
2.1.1 Latar Belakang Kemunculan  Asy’ariyah...................................... 3
2.1.2 Doktrin-Doktrin  Asy’ariyah........................................................... 8
2.1.3 Perkembangan  Asy’ariyah............................................................. 15
2.1.4 Profil Tokoh-Tokoh  Asy’ariyah..................................................... 17
2.1.5 Dampak Positif dan Negatif Faham Asy’ariyah............................. 24
2.2 Faham Al Maturidiyah
2.2.1 Latar Belakang Kemunculan Faham Al Maturidiyah.................... 25
2.2.2 Doktrin-Doktrin Faham Al Maturidiyah......................................... 26
2.2.3 Perkembangan Faham Al Maturidiyah........................................... 29
2.2.4 Profil Tokoh-Tokoh Faham Al Maturidiyah................................... 35
2.2.5 Dampak Positif dan Negatif Faham Al Maturidiyah...................... 36
BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan.............................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 39


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam.Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rosulullah.Ada beberapa factor yang menyebabkan unculnya berbagai golongan dengan segala pemikiranya.Diantaranya adalah faktor poitik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golingan yang lain.Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor Al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu.Dan ada juga yang mnamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.
Adapun ungkapan ahlussunnah (sering juga disebut sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini mu’tazilah termasuk juga asy’ariyah masuk dalam barisan sunni. Sunni dalam arti khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan mu’tazilah.Pengertian kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan makalah ini.Selanjutnya, termasuk ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang aliran Mu’tazilah. Harun Nasution dengan meminjam keterangan Tasy Kubro Zadah menjelaskan bahwa aliran ahlussunnah muncul atas keberanian Abu Al Hasan Al Asy’ari sekitar tahun 300 H.
Asy'ariyah sebagai salah satu aliran dalam teologi Islam, mencuat ke atas secara vulgar sebagai manifestasi sikap kritis dan reaktif terhadap pemikiran yang berkembang sebelumnya terutama aliran Mu'tazilah. Pendiri aliran ini tidak pernah memberikan label nama tertentu terhadap aliran ini, tapi para pengikutnyalah yang  memberi nama dengan menisbatkan kepada pendirinya yakni Abu Hasan Ibnu Ismail al-Asy’ari.Sekalipun pada awal kemunculannya, aliran ini mengesankan hanya sebagai kelompok sempalan dari aliran Mu'tazilah.
Sedangkan Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Maturidiyah semasa hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia hidup di Samarkand sedangkan Asy’ary hidup di Basrah.Asy’ary adalah pengikut Syafii dan Maturidy pengikut Mazhab Hanafy.Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ary adalah orang-orang Sufiyyah, sedang pengikut pengikut Maturidy adalah orang-orang Hanafiah.
1.2  RUMUSAN MASALAH
Melihat uraian diatas maka penulis dapat merumuskan makalah ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana Latar Belakang Kemunculan Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah?
2.      Apa Saja Doktrin-Doktrin Ajaran Keduanya?
3.      Bagaimana Perkembangan Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah?
4.      Bagaimana Profil Tokoh-Tokoh Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah?
5.      Apa Saja Dampak Positif dan Negatif Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah?
1.3  TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui Latar Belakang Kemunculan Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah.
2.      Untuk mengetahui Doktrin-Doktrin Ajaran Keduanya.
3.      Untuk mengetahui Perkembangan Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah.
4.      Untuk mengetahui Profil Tokoh-Tokoh Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah.
5.      Untuk mengetahui Dampak Positif dan Negatif Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah.





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 FAHAM ASY’ARIYAH
2.1.1 Latar Belakang Kemunculan Asy’ariyah
            Asy’ariyah adalah aliran yang berasal dari nama seorang yang berperan penting, yakni pendirinya aliran  Asy’ariyah yaitu Hasan Ali bin Ismail al Asy’ari keturunan dari Abu Musa al Asy’ary.[1]Menurut bebrapa riwayat, al Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Setelah berusia 40 tahun beliau hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324H/935M.[2] Menurut Ibn ‘Asakir, ayah al-asy’ari adalah seorang yang berpaham ahlusunnah dan ahli hadis. Sebelum belia wafat, beliau berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakarian bin Yahya As-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Oleh sebab itu aliran ini dinisbahkan dari nama pendirinya atau pelopornya yaitu Hasan Ali bin Ismail al Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali Al-Jubba’i.
Setelah pernikahan ibunya bersama seorang tokoh Mu,tazilah. Ayah tirinya al-Asy’ari kemudian mendidiknya hingga beliau menjadi seorang tokoh Mu,tazilah. Beliau sering menggantikan ayah tirinya dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu,tazilah. Selain  berguru kepada ayah tirinya, beliau juga berguru kepada ulama lain tentang hadist, fiqh, tafsir, dan bahasa seperti kepada Al-Saji, Abu Khalifah al Jumhi, Sahal ibn Nuh, Muhammad Ya’kub, Abdur Rahman ibn Khilafah dan lain-lain. Demikian juga beliau belajar fiqh Syafi’I kepada seseorang ahli fiqh yaitu Abu Ishaqal Maruzi seorang tokoh Mu,tazilah di bashrah.[3]
            Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai berusia 40 tahun.Setelah itu, secara tiba-tiba beliau mengumumkan dihadapan jamaah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Pada hari jum’at beliau naik ke mimbar masjid Bashrah dan menyatakan secara resmi keluar dari aliran Mu’tazilah dengan pidato” Wahai sekalian manusia, barang siapa mengenalku sungguh dia telah mengenalku.Barang siapa mengenalku maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, bahwa perbuatan–perbuatan jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat dan menolak faham-faham Mu’tazilah dan keluar daripadanya.”Para ahli sepakat al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah tepat pada bulan Ramadhan tahun 280H/912 atau 300H/915.
            Imam Abu Hasan Al Asy’ari setelah keluar merumuskan ajaran-ajarannya kembali berdasarkan manhaj salafuh saleh, dengan mendasarkan kepada nash Al-qur’an dan Hadist, tetapi menerangkan dengan menggunakan metode scholatis yang rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata rumusan-rumusan ajaran beliau diterima oleh mayoritas umat islam.
            Harun Nasution menyebutkan bahwa lahirnya aliran ini dianggap sebagai tonggak kemenangan ahluhsunnah wal jamaah adalah sebagai reaksi atas munculnya aliran Mu’tazilah yang tidak banyak berpegang pada sunnah atau tradisi nabi Muhammad sehingga aliran ini mendapat dukungan masyarakat yang sangat minor.
            Seorang pengikut al-Asy’ari yaitu Ibn Asakir menjelaskan bahwa selama kamu belajar ilmu kalam kepada AL-Jubbai, dia seringkali mengajukan beberapa pertanyaan kepada guru dan ayah tirinya tidak ada yang memuaskan dirinya. Akibatnya ia selalu berada dalam kebingungan tentang keyakinan yang dipegangnya. Ditengah kebingungan yang melanda Al-Asy’ari, seperti cerita Ibn Asakir pernah berkata “ Dalam benakku terdapat sesuatu yang ganjil, kemudian saya shalat dua rakaat dan memohon kepada Allah untuk ditunjukkan kejalan yang benar, kemudian saya tidur dan mimpi bertemu Nabi, saya mengadukan kegundahanku kepada beliau kemudian beliau bersabda ‘tetaplah kau berpegang teguh pada sunnahku’ kemudian saya terjaga dan seketika saya memelajari persoalan kalam yang terdapat dalam Al-qur’an dan hadis dan saya mengabaikan persoalan-persoalan yang lain”.
            Ada dua faktor yang menjadi penyebab keluarnya Asy’ari dari aliran Mu’tazilah. Pertama faktor subyektif, yaitu pengakuan  Al- Asy’ari  telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, malam ke-20, malam ke-30 bulan Ramadhan.Dalam tiga mimpinya itu Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[4]
            Kedua faktor obyektif ialah beliau menemukan adanya beberapa pandangan yang kontroversial dalam aliran Mu’tazilah. Salah satunya adalah dialog Asy’ari dengan al-Juba’i yang berakhir dengan ketidakpuasan imam Asy’ari karena al-Juba’i tidak bisa menjawab pertanyaan yang beliau utarakan. Salah satu diaolog itu adalah mengenai kedudukan seorang mukmin, kafir dan anak kecil. Sebagaimana yang telah terangkum dalam perdebatan dengan  Asy’ari bersama Al-juba’i :
Al-Asy’ari :  Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut yakni, mukmin, kafir, dan anak  kecil di akhirat ?
Al Jubba’i : Yang mukmin mendapat tingkat baik didalam surga, yang kafir masuk neraka  dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi disurga,  mungkinkah itu ?
Al Jubba’i : Tidak yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada tuhan, sedang si kecil itu belum mempunyai kepatuhan.
Al-Asy’ari : Kalau anak kecil itu mengatakan kepada tuhan, itu bukan salahku. Jika sekiranya  engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan  baik seperti yang dilakukan orang-orang mukmin.
 Al Jubba’i :Allah akan menjawab : Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan  berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukuman. Maka untuk kepentingan  mu. Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai pada umur tanggung jawab.
Al-Asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan Engkau ketahui masa depanku sebagaimana  Engkau ketahui masa depannya.Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?
            Dan sampai disini al Jubba’Ii terpaksa diam.[5] Untuk selanjutnya al Asy’ari menjadi merasa ragu-ragu akan kebenaran doktrin Mu’tazilah yang selama ini beliau anut. Kemudian beliau mengasingkan diri dirumah selama lima belas tahun untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi perasaan syak dalam diri al Asy’ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan faham Mu’tazilah ialah karena al Asy’ari menganut madzhab Syafi’i.yang konsep teologinya berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sebagaiman dalam pernyataan al Syafi’i bahwa Al-qur’an adalah tidak diciptakan tetapi bersifat qadim dan Tuhan dapat dilihat diakhirat nanti.
Disamping itu Asy’ari melihat adanya perpecahan dikalangan kaum muslimin yang dapat melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Dan ia sangat khawatir, kalau Al-qur’an dan hadist-hadist nabi menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya itu tidak dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran.
Dan Asy’ari menerima Ilmu Kalam bukan cuma dalam pembicaraan dan perdebatan, melainkan juga dengan menulis berbagai buku, ada yang menyebutkan kira-kira 90 buah buku karangan yang berkaitan dengan ilmu kalam, tapi yang paling penting terkenal dikatakan oleh A. Hanafi MA ada tiga yaitu :
1.      Maqalat al Islamiyyin (pendapat golongan-golongan islam), yaitu kita yang pertama kali dikarang tentang kepercayaan golongan islam dan merupakan sumber terpenting karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab ini dibagi tiga, pertama berisi pendapat bermacam-macam golongan islam, kedua tentang pendiri ahli hadist dan sunnah, dan ketiga tentang bermacam-macam persoalan ilmu kalam.
2.      Al-Ibanah ‘an Ushul Addiyanah (keterangan tentang dasar-dasar agama). Kitab ini menguraikan kepercayaan ahli sunnah dengan pujian Ahmad bin Hanbal dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
3.      Alluma’ (sorotan) isinya untuk membantah lawan-lawannya dalam persoalan ilmu kalam.[6]
Salah satu hasil rumusan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang akidah, yang diikuti oleh umumnya kaum muslimin yang bermazhab al-Syafi’i adalah “ sifat dua puluh” dasar pemikiran adanya rumusan “sifat dua puluh” bagi Allah adalah pemikiran filsafat Yunani tentang wujud. Dalam filsafat Yunani, seperti terlihat pada pemikiran Ibn Sina, wujud itu terbagi tiga, wajib al-wujud, mukmin al-wujud, dan mustabil al-wujud yaitu wujud yang wajib, wujud yang mungkin dan wujud mustahil. Wujud Allah merupakan wujud yang wajib atau wajib al-wujud .karena wujud Allah itu wajib, maka sifat Allah pun wajib sebab, dalam pandangan ahlu sunnah, sifat dan zat merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Imam abu al-Hasan al-Asy’ari sifat yang wajib pada Allah itu ada dua puluh sifat, seperti umum yang diyakini oleh kaum muslimin di Indonesia.[7]
Al-Asy’ari merumuskan pandangan teologinya dalam al-Luma’ fi ar-Radd ala ahl az-Ziyag wa al-Bida’.Bekal dalam menjawab orang-orang yang menyimpang dan melakukan bidah.[8]Dalam usaha positif beliau mengambil jalan tengah antara mempertahankan kepercayaan dan penggunaan akal dalam memahami masalah ke Tuhanan.Sikap sintesis ini sangat besar pengaruhnya dan menyebabkan kaum muslimin tidak mengetahui benturan-benturan yang berarti dengan kemajuan-kemajuan dan penemuan-penemuan modern.Sikap kaum Mu’tazilah yang mengkultuskan akal dapat dinetralisir dalam Asy’ariyah.
Tetapi bagaimanapun al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah seketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan.Setelah al-Mutawakkil membatalkan putusan al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalgi setelah al-Mutawakkil menunjukkan sikap dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah al- Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadist. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemajuan aliran Asy’ariyah dan cepat mendapatkan simpati dikalangan kaum muslimin pada waktu itu antara lain :
1.      Mempunyai tokoh-tokoh kenamaan yang dapat mengkonstruksikan ajaran-ajarannya atas dasar filsafat metafisika.
2.      Kaum muslimin pada waktu itu telah bosan menghadapi dan mendengar diskusi atau perdebatan-perdebatan pada perbedaan pendapat pertentangan persoalan al-Qur’an khususnya yang dicetuskan oleh aliran Mu’tazilah, sehingga menyebabkan tidak simpatinya terhadap aliran tersebut.
3.      Al-Asy’ari doktrin-doktrinnya yang dikeluarkan mengambil jalan tengah antara golongan rasional dan golongan tekstualis, dan ternyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.
4.      Sejak masa khalifah Al-Mutawakkil (Bani Abassiyah) pada tahun 848 M, khalifah membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara, sehingga kaum muslimin pun tidak mau menganut aliran yang telah dibatalkan (ditinggalkan) oleh khalifah, beralih kepada aliran Asy’ariyah yang didukung oleh khalifah.[9]
            Formulasi pemikiran Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu’tazilah pada sisi lain. Dari segi etosnya pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks.Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa 100 % menghindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullab).[10]
2.1.2 Doktrin-Doktrin Asy’ariyah
Adapun pemikiran atau doktrin-doktrin dari aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut :
a.       Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Mengesahkan Allah adalah wajib, namun perbedaan pendapat tentang sifat-sifat Allah tidak dapat dihindarkan.Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentu imam Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat.Menurut beliau, mustahil tuhan mengetahui dengan dzat-Nya karena dengan demikian dzat-Nya adalah pengetahuan dan tuhan sendiri adalah pengetahuan.
Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim).Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah dzat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain, seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat Al-Asy’ari menjelaskan bahwa sifat-sifat tuhan itu bukan sesuatu yang lain yang berada diluar dzat Tuhan, melainkan sesuatu yang inheran ada dalam zat. Rumusan Al-Asy’ari sebagai berikut :
معنى انالله عا لم ان له علما ومعنى انه قادر ان له قدرة ومعنى انه حيان له حياة
Pengertian Allah itu zat yang mengetahui adalah bahwa ilmu itu ada bagi Allah,….,…”
إن أسمأ الله و صفا ته لذا ته لا هي غيره وإنها قا ئمة با لله
“ Sesungguhnya asma dan sifat-sifat Allah itu ada pada zat-Nya, sifat dan asma itu juga tidak lepas dari Allah. Bukan sesuatu yang lain yang berada diluar Allah.”
            Dalam rumusan tersebut, rumusan yang diberikan oleh Al-Asy’ari membuat kita bisa mengibaratkannya dengan seorang laki-laki, katakanlah si A. Wujud si A hanya satu, sendiri,tetapi ia memiliki sifat-sifat dan juga perbuatan-perbuatan, akan tetapi sifat-sifat itu bukanlah wujud dari si A.
            Pengkiyasan bsemacam ini tidak bisa diartikan sebagi pemersamakan antara tuhan dengan manusia, melainkan harus difahami sebagai sesuatu metode yang agak dekat bisa diterima secara rasio dalam menjelaskan tentang sifat dan zat Tuhan.[11] Asy-Ari’yah sebagai aliran tradisonal yang memberikan daya kecil kepada akal juga menolak faham-faham Tuhan mempunyai sifat jasmani dipandang sama dengan sifat jasmani manusia.
            Hal ini tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiahnya.Oleh sebab itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ari mempunyai mata, wajah, tangan serta bersemayam disinggasana. Namun semua itu la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).
b.      Kebebasan dalam berkehendak (free-will)
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatannya.Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah diantara dua pendapat yang eksterem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham pra-determinisme semata-mata.Dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[12]
Aliran Asy’ariyah memandang manusia itu lemah.Dalam hal ini kaum Asy’ariyah lebih dekat kepada paham jabariah daripada paham Mu’tazilah.Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, imam Asy’ari memakai kata al-kasb (perolehan).
Imam Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb.Menurutnya Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia sedangkan manusia sendiri yang mengupayakan (muktasib).Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu termasuk keinginan manusia.Arti iktisab menurut imam Asy’ari adalah sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.[13] Dari sini al-Asy’Ari mengemukakan teori kasb tersebut dalam :
Dalam kitabnya Al-luma beliau memberikan penjelasan yang sama. Arti sebenarnya kata al-kasb adalah bahwa sesuatu timbul dari muktasib (yang memperoleh) dengan perantara daya yang diciptakan.Term-term “diciptakan” dan “memperoleh” mengandung pemahaman kelemahan manusia diperbandingkan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, dan pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Berkata imam Asy’ari :” Sesungguhnya manusia itu berusaha untuk melakukan suatu perbuatan, namun sering terjadi bahwa hasil perbuatannya itu bukan seperti apa yang dikehendaki dan apa yang diusahakan. Ini berarti bahwa manusia itu tidak menciptkan perbuatannya.Dari sini al-Asy’ari mengemukakan teori kasb.Yaitu :
الكسب هو تعلق القدرة العبد وإرادته با لفعل المقدور المحدث من اللهتعلى على الحقيقة
“ Kasb adalah tergantungnya kudrah dan iradah (kehendak) manusia kepada perbuatan yang terjadinya itu ditakdirkan oleh Tuhan pada hakekatnya.”
Menurut Asy’ari manusia mempunyai kudrah dan iradah untuk berbuat, hanya saja ia tergantung kepada takdir dari Allah.orientasi perbuatan manusia al-Asy’ari adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan hasilnya, keberhasilannya atau  kegagalannya. Apa yang dikerjakan manusia, kepastian hasilnya tidak ditentukan oleh manusia melainkan oleh “perbuatan” Tuhan.
Suatu bidang yang tidak menjadi tekanan pembicaraab Mu’tazilah lebih menekankan pada orientasi taklif. Yakni Tuhan memberikan taklif kepada manusia sejalan dengan pemberian kebebasan kepada manusia untuk berbuat, dan perbuatan yang dikerjakan menurut kehendak dan kebebasannya itulah Tuhan akan menghisabnya. Misalnya, kalau manusia dibebani kewajiban shalat, itu karena manusia memiliki daya dan kekuatan untuk melakukannya.
Perbuatan-perbuatan manusia, bagi al-Asy’ari buukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri melainkan diciptakan oleh Allah.Perbuatan kufr adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat baik.Apa yang dikehendaki orang kafir ini tidak dapat diwujudkannya. Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan kufr itu bukanlah orang kafir yang tak sanggup membuat kufr bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak supaya kufr bersifat buruk.[14]
c.       Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi peersoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif  dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.[15]
d.      Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an diciptakan (makhluk), dan tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang menyatakan bahwa Al- Qur’an adalah kalam Allah (yang qadimnya tidak diciptakan).Bahkan, Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi al-Qur’an adalah qadim.
Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidak diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengat ayat :[16]
إٍنَّمَا قَوْ لُنَا لِشَىْءٍ اِذَااَرَدْنَاهُ اَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
Sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami hanya mengatakan kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah sesuatu itu.” (Q.S. An-Nahl:40)
e.       Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dengan mempercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy.Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengikari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat.  Dengan berdalilkan firman Allah Ta’ala:[17]
لَاتُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُوَهُوَيُدْرِكُ الْاَبْصَارَوَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu. “ (QS. Al-An’am : 103)
Dan dalam firman Allah yakni surah Qiyamah ayat 22-23 dan surah Al-Araf ayat 143 yang berbunyi :
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَا ضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَا ظِرَةٌ
” Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al Qiyamah : 22-23)
وَلَمَّا جَا ءَ مُوْسَى لِمِيقَتِنَا وَ كَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَ رِ نِى أَنظُرْإِ لَيْكَ قَالَ لَنتَرَنِى وَلَكِنِ اُنْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَا نَهُ فَسَوْفَ تَرَنِى فَلَمَّا تَجَلَّىرَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَ نَاْ أَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ
” Dan takkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa ” Ya Tuhanku nampakkanlah (diri engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada engkau.” Tuhan berfirman : ”Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Takkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata : ” Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”(QS. Al-Araf :143)
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat. Tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat dijadikan terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[18]
Menurut Al-Asy’ari karena Allah adalah Wujud, maka Allah dapat dilihat.Allah mempunyai sifat al-Bashar, yaitu sifat qadim yang lekat pada Dzat-Nya, tanpa menggunakan biji mata ataupun alat-alat penglihatan yang dikenal manusia. Sebagaimana pula bahwa Allah mempunyai sifat Al-Mukhalafah lil Hawadits (tidak sama dengan barang baru/ makhluk), sehingga Allah tidak memiliki sifat sedikitpun yang mirip dengan sifat mahluk-Nya, dan tidak bisa digambarkan. Dan kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[19]
f.       Keadilan
 Pada dasarnya Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Menurutnya Asy’ari keadilah adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenaranya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik.
Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya dalama kerajaan-Nya. Ketidakadilan berarti sebaliknya, yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang lain. Beliau berpendapat bahwa Tuhan tidak berbuat salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dank arena di atas Tuhan tidak ada hukum dan undang-undang yang berlaku maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.Dengan demikian Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil.
Sehingga pada dasarnya Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Tuhan berbuat adil sehingga ia hanrus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurut Asy’ari bahwa Allah tidak memiliki keharusan apa pun karena ia adalah penguasa mutlak.[20]
g.      Kedudukan orang yang berdosa besar
Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman dengan demikian bukanlah ia atheis dan bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidaj musuh.Hal serupa ini tidak mungkin, oleh karena itu pula mungkin bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan pula kafir.[21]
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu diantaranya.Jika tidak mukmin, ia kafir. Sehinnga al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[22]
Jadi dapat dirangkum pokok-pokok ajaran Asy’ariyah ialah :
1.      Tentang pelaku dosa besar, tidak menjadi kafir, ia tetap mukmin. Sebagai orang berdosa masih terbuka pintu taubat untuk memperoleh ampunan-Nya.
2.      Mengakui sifat Tuhan bukan Dzat-Nya, maka tuhan mengatuhui bukan dengan dzat-Nya, melainkan denagan pengetahuan-Nya.
3.      Soal imamah tidak jauh dengan Khawarij dan Mu’tazilah karena islam sesudah Rasulullah, maka menunjuk seseorang imam harus didasarkan azas musyawarah dan pilihan syah.
4.      Qur’an bukan diciptakan, Qur’an sebagi kalamullah adalah qadim bukan hadits ataupun diciptakan, sedangkan al-Qur’an yang terdiri dari huruf-huruf dan suara adalah baru.
5.      Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akherat.
6.      Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan Tuhan.
7.      Semua yang diperintahkan adalah baik dan sebaliknya segala sesuatu yang dilarang tuhan adalah buruk. Namun tidak ada baik dan buruk secara mutlak, karena semuanya itu menurut perintah Allah.
8.      Keadilan Tuhan adalah kekuasaan mutlak yang tanpa batas itu, adalah adil kalau tuhan mensurgakan dan menerakakan semua orang.
9.      Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan.
10.  Tuhan tidak berkewajiban membuat yang baik dan terbaik dan memberi pahala kepada orang yang taat dan memberi siksaan atas orang yang durhaka.
11.  Kebaikan dan keburukan bukan ditentukan oleh akal melainkan wahyu.
Demikianlah aliran Asy’ariyah tibul dengan semangat perlawanan yang gigih terhadap kaum Mu’tazilah. Dan untuk perkembangan aliran ini, selanjutnya akan tampak jelas dalam kaum muslimin yang dikenal dengan ahlus sunnah wal jamaah.[23]
2.1.3 Perkembangan Asy’ariyah
            Pikiran-pikiran Imam al-Asy'ari, merupakan jalan tengah antaragolongan-golonganberlawana atau antara aliran rasionalis dan tekstualis.Dalam mengemukakan dalil dan alasan, ia juga memakai dalil-dalil akal dannaqli bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Qur'an dan al-Hadits, iamencari alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya. Jadi ia tidakmenganggap akal pikiran sebagai hakim atas nash-nash agama untukmena’wilkan dan melampaui ketentuan arti lahirnya, melainkan dianggapnyasebagai pelayan dan penguat arti lahir nash tersebut. Ia tidak meninggalkancara yang lazim dipakai oleh ahli filsafat dan logika, sesuai dengan alampikiran dan selera masanya. Meskipun demikian, Imam al-Asy'ari tetap
menyatakan kesetiaanya kepada Imam Ahamd bin Hanbal atau aliran ahlussunnah yaitu suatu aliran yang menentang aliran Mu’tazilah sebelum al-Asy'ari, bahkan ia mengikuti jejak ulama salaf yaitu sahabat-sahabat dantabi’in-tabi’in, terutama dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, di manamereka tidak memerlukan pena’wilan, pengurangan atau melebihkan ataumelebihkan arti lahirnya.[24]
Akan tetapi aliran Asy'ariyah sepeninggal pendirinya sendiri mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat karena pada akhirnya, aliran Asy'ariyah lebih condong kepada segi aliran mendahulukannya sebelum nash dan memberikan tempat yang lebih luas daripada tempat untuk nash-nash itu sendiri. Al-Juwaini sudah berani memberikan ta’wilan terhadap ayat-ayatmutasyabihat.[25] Bahkan menurut al-Ghazali, pertalian antara dalil akal dengandalil syara’ (naqli) ialah kalau dalil akal merupakan fondamen bagi sesuatubangunan, maka dalil syara’ merupakan bangunan itu sendiri. Fondamen tidakakan ada artinya, kalau tidak ada bangunan di atasnya, sebagaimana bangunantidak akan kokoh senantiasa tanpa fondamen.[26]
Buku al-Ghazali yang lain, yaitu al-Iqtishad, dimaksudkannya untuk memberikan kepercayaan (aqidah) yang tengah-tengah antara golongan yang terlalu memegangi akal, yaitu golongan filosof dan Mu’tazilah, sehingga pikiran-pikiran mereka berlawanan dengan nas-nas yang sudah pasti. Kedua macam sifat tersebut yang hanya memihak kepada salah satu segi, tidak dapatdibenarkan, sebab sebenarnya sebagaimana halnya dengan orang yang melihat dengan baik memerlukan mata yang sehat dan sinar matahari bersama-sama. Namun buku itu sendiri, yaitu al-Iqtihad, yang berarti metode rate (jalan tengah) cukup menunjukkan aqidah yang ditempuh oleh pengarangnya, suatu aqidah dari ahlussunnah. Jadi aliran Asy'ariyah pada akhir perkembangannyamendekati aliran Mu’tazilah, karena kedua aliran tersebut memegangi prinsipyang mengatakan bahwa: “pengetahuan yang didasarkan atas unsur-unsurnaqli (tradisional) tidak memberikan keyakinan kepada kita”. Merekamemandang bahwa pengetahuan tersebut tidak mempunyai nilai kebenaranmutlak (absolut), kecuali dalam hal-hal yang bertalian dengan amalan-amalansyara’ (fiqih), sedang untuk masalah aqidah hanya bisa mencapai nilaisekunder.Karena itu hanya dalil-dalil akal pikiran saja yang memungkinkankita mencapai keyakinan.[27]
Kelanjutannya ialah apabila dalil-dalail naqli berisi hal-hal yang tidak bisa diterima akal, maka dalil itu harus dita’wilkan, karena akal pikiran harus didahulukan daripada dalil naqli.[28]Bagaimana besarnya pengaruh prinsip tersebut (mendahulukan akal) dapat kita lihat pada Syekh M. Abduh yang mengatakan bahwa prinsip tersebut sudah disepakati oleh kaum muslimin, kecuali mereka yang tidak bisa dipercayai pikiran-pikirannya.[29] Bahkan menurut Ibnu Jauzi kecenderungan kepada metode aliran Mu’tazilah sudah terlihat sejak dari masa pendiriannya yang pertama, yang karenanya ia mengatakan bahwa Imam al-Asy'ari selamanya menjadi orang Mu’tazilah.
Kecenderungan inilah yang menyebabkan mengapa orang-orang pengikut madzhab Hanbali (ahlussunnah) merasa tidak puas terhadap aliran Asy'ariyah dan mengadakan perlawanan yang sengit terhadap mereka, seperti yang pernah dilakukannya terhadap aliran Mu’tazilah, dan puncak perlawanannya terjadi pada masa Ibnu Taimiah. Biar bagaimanapun juga
prinsip yang dipegangi oleh aliran Asy'ariyah, namun aliran ini dapatmenggantikan aliran Mu’tazilah dan dipeluk oleh kebanyakan kaum muslimin sampai sekarang.
2.1.4 Profil Tokoh-Tokoh Asy’ariyah
            Adapun nama tokoh-tokoh dalam aliran Asy-ariyah yang terkenal antara lain sebagai berikut :
1.      Al Baqillani (wafat 403 H)
Menurut penuturan Ibn Khalkan, nama lengkapnya adalah Al-Qadli Abu Bakar Ibn Thayyib Ibn Muhammad Ibn Ja'far Ibn Qasim, tetapi ia lebih popular dengan nama al-Baqillani. Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti. Tapi Ibnu Khalkan hanya berani memberikan informasi bahwa masa awalnya  dibesarkan di Bashrah. Yang dapat diketahui secara pasti beliau meninggal di Baghdad tahun 403 H / 1013 M.[30]
Otorita intelektualnya diperoleh dari dua orang murid utama al-Asy'ari, yakni Abdillah Ibn Mujahid serta Hasan al-Bahili.Al-Baqillani dikenal sebagai pakar ilmu kalam, An-Nadlar, serta ilmu Ushul.Ketiga ilmu tersebut diperoleh dari Ibn Mujahid. Menurut Ibn Asakir, ketiga ilmu tersebut juga diperdalam bersama-sama  Ibnu  Furak  dan al-Asfaraini.  Apabila Asfaraini lebih banyak mendekati Al-Bahili, maka al-Baqillani dan Ibn Furak lebih banyak mendekati Mujahid. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah,
Al-Baqillani merupakan salah seorang Mutakallimin Asy'ariyah yang terbaik.
Al-Baqillani dikenal sebagai orator, dan agitator yang mengagumkan karena ia memiliki gaya retorika yang komunikatif, juga piawai dalam berdiplomasi. Kemampuan al-Baqillani disempurnakan dengan kemampuan menulis buku secara produktif.Diantaranya seperti kitab I’jazul Qur’an, kitab pertama beliau yang diterbitkan dan paling tinggi nilainya.
2.      Ibnu Faurak (wafat 406 H)
Al Imam Abu Bakar Muhammad bin Al Hasan bin Furak al Ashbihani al-Syafi’I, pakar fiqih mazhab al-Syafi’I, ushul fiqih, teologi, sastra, gramatika dan lain-lain. Tidak ada data yang menjelaskan ia pernah tinggal di Irak untuk belajar al-Syafi’I dan teologi mazhab al-Asy’ari kepada al Bahili, murid al-Asy’ari.
Selain pakar dalam bidang teologi Ibn Furak juga pakar dalam bidang ilmu hadist.Beberapa ahli hadist terkemuka seperti al-Hakim, al-Baihaqi, dan lain-lain telah belajar hadist kepadanya.Ibn Furak termasuk ulama yang sangat produktif dengan menulis, sekitar seratus karangan dalam berbagai studi seperti ushul fiqih, hadist, teologi, fiqih dan lain-lain.Diantarakaryanya adalah Musykil al-Hadist, Musykil al-Atsar, Tafsir al-Qur’an, Syarh Awa’il al Adillah, Thabaqat al Mutakallimin dan lain-lain.[31]
Ibn Faruk adalah ulama yang sangat gigih dalam memperjuangkan faham ahlu sunnah wal jamaah membela kebenaran dan memberantas kesesatan dalam hal akidah terutama menghadapi kelompok Karramiyah, aliran yang berfaham tajsim dan didirikan oleh Muhammad bin Karram al-Sijistani. Hal tersebut mendorong pengikut Karramiyah untuk memifitnah Ibn Furak kepada Sultan Mahmud bin Subaktikin al-Ghaznawi. Mereka melaporkan kepada sultan bahwa Ibn Furak mengikari kenabian nabi Muhammad SAW setelah wafatnya.
3.      Ibnu Ishak al Isfaraini (wafat 418 H)
Al Imam Ruknuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim bin Mihran al-Asfarayini, ulama terkemuka dalam bidang teologi, ushul fiqih, dan fiqih ynag diakui mencapai derajat mujtahid pada masanya dan memiliki banyak karya yang menabjukan. Selain itu beliau juga seorang muhaddist yang dipercaya.
Abu Ishaq al-Asfarayini sangat dihormati oleh para ulama hal itu disamping karena faktor ketinggian ilmunya juga karena ketekunannya dalam beribadah.Al Hafizh Abdul Ghafir al Farisi mengatakan, al-Ustadz Abu Ishaq merupakan ulama yang menjadi kebanggaan negeri-negeri didaerah timur terutama Khurasan dan sekitarnya.
Dia seorang ulama yang sangat tekun dalam beribadah. Abu Iahaq wafat tahun 418 H / 1027 M, dan meninggalkan beberapa karya yang penting antara lain al-Jami’ fi Ushul al-Din wa al-Radd ‘ala al-Mulhidin, Masail al-Daur, al-Ta’liqah fi Ushul al-Fiqh dan lain-lain.[32]
4.      Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
Abu Mashur Abdul Qahir bin Thahir bin Muhammad al-Tamimi al-Baghdadi, ulama terkemuka pada masanya dalam bidang fiqh, ushul fiqih, teologi, faraidh,hisab dan lain-lain. Selain kharismatik Abu Mashur al-Baghdadi juga terkenal sangat berwibawa.Karya-karyanya banyak menjadi komsumsi kaum pelajar, karena susunan bahasanya yang bagus, pemaparannya yang lugas dan metedologinya yang sistematis.
Dia juga ulama yang produktif, dengan sejumlah karyanya yang dihasilkan dan menjadi komsumsi para pelajar hingga dewasa.Diantara karyanya adalah Ushul al-Din, al-Nasikh wa al-Manshuk, Tafsir Asma’ Allah al-Husna, Fadhail al-Qodariyah, al-Takhmiyah dalam bidang hisab.Abu Manshur wafat pada tahun 429 H/ 1037 M di Asfarayin dan makamnya berdampingan dengan makam gurunya al ustadz Abu Ishaq al-Asfarayini.
5.      Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
Nama lengkapnya adalah Badul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayawi. Dilahirkan pada tanggal 18 Muharram tahun 419 H. bertepatan dengan tanggal 12 Pebruari 1028 M. di Bustanikan, sebuah desa dekat Naisabur.
 Beliau meniggal dunia pada usia 59 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Rabi'ul Akhir 478 H., di kota kelahirannya. Ia dikenal dengan panggilan Abul Ma'ali yang menunjukkan pengakuan umat atas kepakarannya, keagamaan, serta ketokohannya di tengah-tengah masyarakat luas.
 Selanjutnya secara berturut-turut ia mempelajari ilmu fikih di bawah bimbingan Abul Qasim Al-Asfarayani, dan memperdalam pengetahuan tentang Alquran di bawah bimbingan Ibnu Muhammad an-Naisaburi al-Khabazi, belajar tentang Hadits kepada Abu Said Abdurrahman bin An-Naisaburi, memperdalam ilmu Lughah kepada Syeh Hasan bin Faidlol bin Ali Jasyi’iy, serta memperdalam filsafat secara otodidak.
Pada tahun 450 H/1058 M, ia mengajar di Makkah dan Madinah, dan baru pulang setelah Nidzamul Mulk berkuasa karena mendapat panggilan untuk mengajar di sekolah tersebut. Al-Juwaini melaksanakan tugas itu dengan baik sampai beliau meninggal dunia pada tahun 478 M/1085 M. 
6.      Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
Al Imam Abu al Muzhafar Syahfur bin Thahir bin Muhammad al-Asfarayani, yang menyandang gelar al-imam, al-ushuli, al-faqih, al mufassir, al-mutakallim, pakar dalam bidang teologi, ushul fiqih, fiqih dan tafsir. Tidak ada data yang menginformasikan biografinya secara detail.
Beliau ditugasi oleh perdana Menteri Nizhamul Mulk untuk mengajar di universitas Nizhamiyyah di Thus, Iran.Dia belajar hadist kepada murid-murid al-Hafizh Abu al-Abbas al Asham dan belajar teologi dan ushul kepada al-ustadz Abu Mashur Abdul Qahir.Dia menulis karangan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Persia berjudul Taj al-Tarajim fi Tafsir al-Qur’an lil-A’ajim. Karangannya yang sampai kepada kita adalah al-Tafsir fi al-Din wa Tamyiz al-firqah al-Najiyah ‘an-al Faraq al-Halikin dalam bidang teologi dan perbandingan sekte. Kitab ini sangat bagus dalam memaparkan kebenaran mazhab ahlu sunnah wal jamaah.[33]
7.      Al Ghazali (wafat 505 H)
Al-Ghazali dilahiran pada pada  abad kelima Hijriyah tepatnya pada 450 H di Thus, Salal, Kharasan.  Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhamad bin Ahmad al-Ghazali, yang mendapat gelar Hujjatul Islam Zainuddin at-Thusi al-Faqih as-Syafi’i.
Disamping itu, al-Ghazali juga mendapat gelar lain yaitu Bahr Mughriq.
Semenjak kecil, al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan Ia memiliki kecenderungan untuk melihat sesuatu sampai kepada akar-akamya Hal ini terlihat jelas lewat pernyataannya: "Kehausan mendapatkan hakekat sesuatu sudah menjadi tabiat dan kebiasaan semenjak masa kecil saya.
Al-Ghazali muda tampil sebagai sosok yang cerdas, tekun dan ulet.Ia tidak membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menguasai suatu ilmu pengetahuan. Padahal waktu yang dimiliki lebih banyak digunakan untuk mengkaji ilmu pengetahuan. Maka wajarlah jika ia kemudian  ia menguasai berbagai disiplin ilmu, sehingga al-Juwaini memberikan gelar 'Bahrun Mughriq' .Setelah menyelesaikan studinya di Thus dan Jurjan, beliau melanjutkan ke kota Naisabur. [34]
Pada waktu menghadiri majlis Wazir Naizamul Mul, suatu forum pertemuan antara kaum intelektual- kecemerlangan dan keluasan ilmunya tampak sangat menonjol dan mengagumkan banyak pihak.Berkat kedalaman ilmu, kefasihan lisan, kekuatan argumentasi, dan 'low profile' nya membuat diskusan Nizamul Mulk terkagum-kagum padanya. Maka sebagai rasa simpati,
Beliau diangkat sebagai Guru Besar Perguruan Nidzamiyah di Baghdad. Dalam perjalanan bidup masa tuanya setelah empat tahun mengajar di Baghdad, al-Ghazali menunaikan ibadah haji kemudian melancong ke Syam dan menetap di mesjid Umawi, sebagai 'abid dan zahid.
  Selanjutnya ia mengembara sebagai filosuf dan sufis, sehingga ketika kembali lagi ke Baghdad ia bukan hanya sebagai guru yang alim tetapi juga sebagai Imam sufi merangkap Mursyid selama kurang lebih sepuluh tahun. Dari Baghdad ia pindah ke Naisabur, kemudian kembali lagi ke Thus.
8.      Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9.      As Syihristani (wafat 548 H)
Al-Syahrastani benar-benar menguasai sejarah dan pendapat-pendapat dari berbagai aliran Islam. Itu ia paparkan secara obyektif di dalam bukunya, al-milal wa al-Nihal (agama dan kepercayaan) yang sudah di kenal para analisis sejak abad yang lampau sebelum mereka menemukan kembali Maqalat al-islamiyyin karya Al-Asy’ari itu. Buku ini mereka jadikan rujukan, bahkan sampai hari ini.
Al-syahrastanitidak hanya meemfokuskan diri pada kelompok-kelompok keagamaan, tetapi juga mengkaji par filosof klasik dan modern.Penguasaan filosofinya ternyata amat mendalam dan sempurna. Nampak bahwa Al-syahrastani banyak terpengaruh oleh ibnu Sina, walaupun ia juga mengritik dan menentangkan.[35] Beliau mengarang kitab “ Al Milal Wa An Nihal yang berisi tentang firqoh-firqoh dalam teologi islam yang terkenal.
10.  Ar Razi (1149-1209 H)
Muhammad bin Idris Al-Mundzir bin Dawud bin Mahran al-Hanzhali al-Hafizh. Beliau lahir pada tahun 195 H dan pada tahun 209 dia sudah berhasil menelurkan karya untuk pertama kalinya.Abu Hatim ar-Razi hidup semasa dengan Imam Al-Bukhari dan tercatat dalam thabaqahnya. Hanya saja, pada usia dua puluh tahun lebih panjang dari Imam Al-Bukhari. Beliau juga menulis, salah satu kitabnya adalah Tafsir Al-Kabir.
Al Mizzi berkata, menurut suatu pendapat, Abu Hatim Ar-Razi tinggal dilorong jalan di Hanzdalah daerah Rai, sehingga namanya dinisbatkan kedaerah itu. Dari Abdullah bin Muhammad bin Ya’qub beliau berkata “aku telah mendengar Abu Hatim Ar-Razi berkata, “ Kami adalah penduduk Asfahan yang tinggal disebuah desa bernama Jarukan. Keluarga kami mendahulukan kepentinganku daripada ayahku sendiri, kemudian mereka memutuskannya.”
Abu Hatim Ar-Razi berkata Mazhab pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah, sahabat, dan tabi’in dengan berpegang teguh pada mazhab ahli atsar seperti, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq dan Abu Ubaid. Kami selalu mengikuti ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dengan berkeyakinan bahwa Dzat Allah sebagaiman difirmankan-Nya,[36]
قَوْمَ فِرْعَوْنَ اَلَا يَتَّقُوْنَ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (QS. Asy-Ayura : 11)
11.  Al- Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit
An Nu’man bin Zauthi At-Taimi Al-Kuhfi kepala suku dari bani Tamim bin Tsa’labah. Ada yang mengatakan bahwa sebab penamaanya dengan hanifah adalah karena dia selalu membawa tinta yang disebut hanifah dalam bahasa Irak.Beliau dilahirkan pada tahun 80 H di Kuffah. Di saat masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan. Pada saat itu beliau masih sempat melihat sahabat Anas bin Malik bin Marwan, ketika Anas dan rombongannya datang ke Kuffah. Akan tetapi ada yang menyangkal berita ini dan mengatakan bahwa berita Imam Abu Hanafih bertemu dengan sahabat Anas adalah tidak.
Dari Said bin Salim Al-Bashri beliau berkata, aku pernah mendengar Abu Hanafih berkata “ Aku pernah bertemu dengan Atha’ di Mekkah. Lalu aku bertanya kepadanya tentang sesuatu kemudian dia menjawab “Dari mana anda ?aku berkata, aku salah satu penduduk Kuffah. Dia berkata, “Jadi anda dari kampung yang suka memecah belah agama mereka menjadi beberapa golongan ?aku menjawab, Ya.”
Dia berkata lagi, Anda dari kelompk mana ? aku berkata “ Aku dari kelompok yang tidak mencaci ulama salaf, beriman kepada qadha dan qhadar Allah, dan tidak mengkafirkan seorang pun hanya karena suatu dosa yang dilakukannya. Kemudian dia berkata,” Anda telah tahu maka berjanjilah menjaganya.” Begitulah beliau berpegang teguh pada sunnah.[37]
12.  Al Iji (wafat 756 H / 1359 M).
13.  AL Sanusi (wafat 895). [38]
Beliau mengarang “Akidah ahli Tauhid” berisi tentang pandangan tauhid ahlu sunnah wal jamaah beliau juga mengarang “Ummul Barahin” berisi tentang sifat wajib. Mustahil dan jaiz bagi Allah dan Rasulullah.
Dan para pengikut Al Asy’ari antara lain Abu Ishaq Al Isfirayini, Abu Bakar Al Qoffal, Al Hafidz Al Jurjani dan Abu Muhammad Al Thobri Al Iraqi. Pada kurun setelahnya terdapat, Abu Bakar Al Baqilani dan Abu Bakar bin Fauruk. Kurun setelahnya terdapat, Abu Manshur Al Naisaburi, Abu Manshur Al Baghdadi, Al Hafidz Al Mahrawi.Kurun setelahnya terdapat, Al Khothib Al Baghdadi, Abu Al Qosim Al Qushairi, Imam Haromain / Al Juwani.Kurun setelahnya terdapat Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Fakhruddin Al Syasyi, Abu Nashr Al Qusyairi dan Ibn Asyakir.Kurun setelahnya terdapat, Fakhruddin Al Rozy, Saifuddin Al Amudi dan Izzudin Ibn Abdissalam.Dan seterusnya hingga para ulama yang mengikuti akidah beliau sampai sekarang.
2.1.5 Dampak Positif dan Negatif Faham Asy’ariyah
2.1.5.1 Dampak Positif Asy’ariyah
Tuhan dapat dilihat di akhirat, demikian pendapat al-Asyari. Di antara alasan-alasan yang dikemukakannya, ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti berarti Tuhan harus bersifat diciptakan.
2.1.5.2 Dampak Negatif Asy’ariyah
Anggapan yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat Nabi Muhammad SAW. sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberi siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang diperbuatnya.
2.2FAHAM AL  MATURIDIYAH
2.2.1 Latar Belakang Kemunculan Al Maturidiyyah
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad.[39] Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliranini.[40]
            Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur  al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah  Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Aliran al-Maturidiyah ini sehenarnya tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah. Keduanya dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kehutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis dimana yang berada dibarisan paling depan adalah Mu’iazilah, maupun kaum tekstualitas yang dipelopori oleh kaum Hanbaliyah (para pengikut Imam Ibnu Hanbal). Keduanya herbeda pendapat hanya dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas[41]. Aliran al-Maturidiyah berdiri atas prakarsa al-Maturidi pada tahun pertama abad ke-4 H di wilayah Samarkand.[42]
Pada awalnya antara kedua aliran ini dipisahkan oleh jarak. aliran Asy’ariyah berkembang di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas sampai ke Mesir sedangkan aliran al-Maturidiyah berkembang di Samarkand dan di daerah-daerah seberang sungai (Oxus). Kedua aliaran mi bisa hidup dalam aliran yang kompleks dan memhentuk suatu mazhab. Nampak jelas hahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah fiqih kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (pengikut imam Hanafi membentengi aliran-aliran Maturidiyah dan mereka kaitkan akarnya sampai pada imam Abu Hanifah sendiri[43]. Teolog yang juga bermazhab Hanafiyah seperti Maturidi adalah Abu Ja’far al-Tahawi di Mesir. Dia adalah seorang ulama besar dibidang hadis dan fiqih yang teiah mengembangkan dogma-dogma teologi yang lebih besar. Lebih dari satu abad, mazhab Asy’ariyah tetap populer hanya diantara pengikut Syafi‘iyah sementara mazhab Maturidiyah dan begitu juga Tahawiyah terbatas penganutnya diantara pengikut Hanafi.[44]
2.2.2 Doktrin-doktrin  Al Maturidiyyah
            Adapun pemikiran atau doktrin-doktrin dari aliran Al Maturidiyah adalah sebagai berikut:
a.          Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.  Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
 Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
 Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu.
3.    Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[45]
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.

b.          Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Dengan demikian tidak ada peretentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.[46]
c.         Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah Swt. Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d.         Sifat Tuhan
Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
e.     Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f.     Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi  tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.[47]
g.         Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wajib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia).  setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :
a.       Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusioa juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya
b.      Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

h.         Pelaku Dosa Besar

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.
i.            Pengutusan Rasul
Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.[48]
2.2.3 Perkembangan Maturidiyah
Pada dasarnya munculnya pemikiran teologi al-Maturidiyah sebagaimana juga Asy’ariyah merupakan reaksi terhadap paham Mu’tazilah. Namun dalam perkembangannya paham al-Maturidiyah mengambil posisi ditengah-tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Aliran al-Maturidiyah terbagi dalam dua aliran yaitu al-Maturidiyah Samarkand yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi sendiri, dan al-Maturidiyah Bukhara yang dibangun oleh pengikut Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi yakni sebagai berikut:
1.      Maturudiyah Samarkand (al Maturidi)
      a.   Riwayat hidupnya
Nama lengkapnya  Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al Maturidi adalahteolog terkemuka yang menggolongkan dirinya ke dalam barisan kaum Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Paham teologis yang dikemukakannya dan dianut oleh para pengikutnya kemudian dikenal dengan Maturidiah[49]. Beliau lahir di Maturid dekat dengan Samarkand (di Asia Tengah pada tahun 852 M / 238 H) yang tanggal kelahirannya tidak dapat diketahui secara pasti dan hanya merupakan suatu perkiraan, yaitu berdasarkan bahwa, ketika gurunya (Muhammad bin Muqatil al Razi) wafat pada tahun 862 M atau 248 H, beliau sudah berusia sepuluh tahun. Jika perkiraan ini benar, maka berarti ia mempunyai usia yang sangat panjang karena di ketahui beliau wafat di Samarkand pada 944 M / 333 H[50]. Adapun nama al Maturidi dihubungkan dengan tempat kelahirannya yaitu Maturid.
Al Maturid memperdalam ilmu dari beberapa orang guru di daerahnya. Guru-guru al Maturidi adalah murid Abu Hanifah. Dari guru-gurunya itulah membuat al Maturidi dikenal dalam bidang fiqih, ilmu Kalam, tafsir sekalipun akhirnya ia lebih populer sebagai mutakallimin. Oleh karena ia lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada ilmu kalam, karena ketika itu ia banyak berhadapan dengan paham teologi lain seperti Mu’tazilah.[51]
 Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.
b.                                              b. Pemikiran-pemikiran al Maturidi
Seperti yang telah diuraikan bahwa pemikiran al Maturidi pada dasarnya sedikit berbeda dengan pemikiran al Bazdawi yang kemudian berkembang menjadi dua cabang aliran Maturidiah yaitu Maturidiah Samarkand oleh Abu Mansur al Maturidi sendiri. Diantara pemikiran-pemikiran teologis al Maturidi yang akan dibahas di sini adalah sebagai berikut :
1)      Akal dan Wahyu
Berbicara mengenai akal dan wahyu dalam paham teologi, maka ada empat masalah pokok yang diperdebatkan. Apakah keempat masalah tersebut dapat diketahui akal atau tidak, apakah hanya dapat diketahui oleh wahyu dan lain sebagainya. Keempat masalah pokok tersebut adalah : Mengetahui Tuhan, Kewajiban mengetahui Tuhan, Mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk sebelum datangnya wahyu.
Al Maturidi berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Oleh karena Allah sendiri memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Ini menunjukkan bahwa dengan akal, manusia dapat mencapai ma’rifat kepada Allah[52]. Mengenai kewajiban manusia akan kemampuan mengetahui Tuhan dengan akalnya menurut al Maturidi Samarkand sebelum datangnya wahyu itu juga adalah wajib diketahui oleh akal, maka setiap orang yang sudah mencapai dewasa (baligh dan berakal) berkewajiban mengetahui Tuhan[53]. Sehingga akan berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu.
Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian, akal yang juga tahu bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal. Yang diwajibkan akal adalah adanya perintah larangan yang dapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan itu.[54]
 Adapun mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, menurut paham Maturidiah Samarkand akat tidak berdaya mewajibkan manusia terhadap hal tersebut. Karena kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui oleh wahyu.
2) Sifat Tuhan
Bagi al Maturidi bahwa Tuhan itu mempunyai sifat-sifat[55]. Tetapi sifat-sifat itu bukan zat. Dengan kata lain sifat-sifat itu bukanlah suatu yang berdiri pada zat. Sifat itu qadim dengan qadimnya zat. Kekalnya sifat-sifat itu sendiri, akan tetapi kekalnya sifat itu melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan. Oleh karena sifat-sifat itu bukan berdiri sendiri maka tidaklah terjadi ta’addud al qudama’ sebagaimana paham Mu’tazilah yang menafikan sifat karena beranggapan akan terjadi ta’addud al qudama’.
3) Perbuatan Manusia
Maturidi berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Ada dua jenis perbuatan yakni: perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan dimanifestasikan dalam bentuk penciptaan daya dalam diri manusia, dan pemakaian daya itulah merupakan perbuatan manusia.[56]
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa Maturidi mengambil jalan tengah antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyah, dimana Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya dengan adanya kemampuan yang diberikan oleh Allah kepadanya, sedangkan pendapat Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai efektifitas dalam perbuatannya karena ia hanya memiliki kasab yang terjadi bersamaan dangan penciptaan daya dan bukan pengaruh dirinya. Sedangkan Maturidi memandang kasab itu ada karena kemampuan dan pengaruh manusia.
                         2.  Maturudiyah Bukhara (al Bazdawi)
                                     a.   Riwayat hidupnya
Nama lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain bin Abd. Karim al Bazdawi, dilahirkan pad tahun 421 H[57]. Kakek al Bazdawi yaitu Abd. Karim, hidupnya semasa dengan al Maturidi dan salah satu murid al Maturidi, maka wajarlah jika cucunya juga menjadi pengikut aliran Maturidiyah. Sebagai tangga pertama, al Bazdawi memahami ajaran-ajaran al Maturidi lewat ayahnya.[58]
Al Bazdawi mulai memahami ajaran-ajaran al Maturidiyah lewat lingkungan keluarganya kemudian dikembangkan pada kegiatannya mencari ilmu pada ulama-ulama secara tidak terikat. Ada beberapa nama ulama sebagai guru al Bazdawi antara lain : Ya’kub bin Yusuf bin Muhammad al Naisaburi dan Syekh al Imam Abu Khatib. Di samping itu, ia juga menelaah buku-buku filosof seperti al Kindi dan buku-buku Mu’tazilah seperti Abd. Jabbar al Razi, al Jubba’i, al Ka’bi, dan al Nadham. Selain itu ia juga mendalami pemikiran al Asy’ari dalam kitab al Mu’jiz. Adapun dari karangan-karangan al Maturidi yang dipelajari ialah kitab al Tauhid dan kitab Ta’wilah al Qur’an[59]. Al Bazdawi berada di Bukhara pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai qadhi Samarkand pada tahun 481 H / 1088 M, lalu kembali di Bukhara dan meninggal di kota tersebut tahun 493 H / 1099 M.[60]
                 b. Pemikiran-pemikiran al Bazdawi
Dalam pembahasan selanjutnya akan dikemukakan beberapa pemikiran al Bazdawi di antaranya sebagai berikut:
                       1)      Akal dan Wahyu
Al Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang kewajiban mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah melalui wahyu[61]. Begitu pula akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban mengerjakan yang baik dan buruk. Akal dalam hal ini hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk adalah wahyu.
Dalam paham golongan Bukhara dikatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi suatu kewajiban. Di sini dapat dipahami bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.[62]
Di sinilah wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting bagi akal untuk memastikan kewajiban melaksanakan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk. Sebagaimana dikatakan al Bazdawi, akal tidak dapat memperoleh petunjuk bagaimana cara beribadah dan mengabdi kepada Tuhan. Akal juga tidak dapat memperoleh petunjuk untuk melaksanakan hukum-hukum dalam perbuatan-perbuatan jahat.[63]
                        2)      Sifat-sifat Tuhan
Al Bazdawi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan pun qadim. Akan tetapi untuk menghindari banyaknya yang menyertai qadimnya zat Tuhan, maka al Bazdawi mengatakan bahwa ke qadiman sifat-sifat Tuhan itu melalui ke qadiman yang melekat pada diri zat Tuhan, bukan melalui ke qadiman sifat-sifat itu sendiri.[64]
                        3)   Perbuatan manusia
Al Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan, sekalipun perbuatan tersebut di sebabkan oleh qudrah hadisah yang berasal dari manusia itu sendiri[65]. Karena timbulnya perbuatan itu terdapat dua daya yaitu daya untuk mewujudkan dan daya untuk melakukan.
Meskipun dua tokoh aliran Maturidi dan juga Asy’ari berbeda dalam beberapa hal tetapi punya prinsip yang sama. Jika terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka akal harus tunduk kepada wahyu. Itulah satu contoh sehingga mereka terpadu dengan satu aliran besar (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah). Di samping itu mereka tampil menentang Mu’tazilah, hanya saja Asy’ari berhadapan langsung dengan pikiran yang sangat bertentangan dengan Mu’tazilah.
Meskipun dalam perjalanan sejarah ilmu kalam, termasuk penjelasan tersebut diatas tentang pemikiran al_Maturidiyah. Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.
2.2.4 Profil Tokoh-Tokoh Faham Maturidiyah
            Al-Maturidiyyah adalah merujuk kepada sekumpulan pengikut yang menuruti pemikiran al-Maturidi. Kebanyakan ulama al-Maturidiyyah pula terdiri daripada para pengikut aliran fiqh al-Hanafiyyah. Ini kerana pada umumnya, aliran pemikiran al-Maturidiyyah berkembang di kawasan aliran al-Hanafiyyah. Bagaimanapun, mereka tidaklah sekuat para pengikut aliran al-Asyariyyah.
Di antara mereka ialah:
1.      Abu al-Qasim Ishaq b. Muhammad @ al-Hakim al-Samarqandi (m.340/951)
Abd al-Hakim al-Samarqandi menulis buku yang berjudul al-Sawad al-A‟zam yang dianggap sebagai karya tertua di bidang teologi dari aliran Maturidiyah. Tulisannya yang lain adalah: Aqidah al-Imam dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Sedangkan Abu al-Hasan Ali ibn Said al-Rastafgani menulis: Kitab al-Irsyad al-Muhtadiy, Kitab al-Zawa‟id wa al-Fawa‟id fiy Anwa‟ al-„Ulum, Kitab al-Khilaf dan As‟ilah wa Ajwibah. Namun, tulisan yang lebih lengkap tentang pemikiran teologi al-Maturidi baru dilakukan setelah abad ke-5/11 oleh Fakhr al-Islam „Ali ibn Muhammad ibn Abd al-Karim al-Bazdawiy.
2.      Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493/1030-1100)
Salah seorang tokoh Maturidiyah yang hidup pada abad ke-5/11 adalah Abu al-Yusr Muhammad ibn Muhammad ibn Abd al-Karim al-Bazdawiy, lahir pada tahun 421 H dan wafat di Bukhara tahun 493/1099. Beliau menerima pendidikan dari ayahnya, kakeknya sendiri adalah murid dari al-Maturidi.
3.      Abu Hafs Umar bin Muhammad al Nasafi (460-537/1068-1143)
Muhammad al-Nasafi, lahir di Nasaf tahun 460/1068 dan wafat di Samarqand tahun 537/1142. Beliau termasuk ulama besar pada masanya, tulisannya yang terkenal adalah al-„Aqa‟id al-Nasafiyah yang dari segi metode dan materinya sangat jelas dipengaruhi oleh pemikiran al-Maturidi. Buku ini bukan hanya menarik bagi para tokoh Maturidiyah tetapi juga tokoh-tokoh Asy‟ariyah, al-Taftazani misalnya, menulis sebuah komentar atas buku tersebut.
4.      Sad al Din al Taftazani (m.790/1388)
5.      Kamal al Din Ahmad al Bayadi.
6.      Abu al Hasan Ali bin Said al Rastagfani.
7.      Abu al Laith al Bukhara
2.2.5 Dampak Positif dan Negatif Faham Maturidiyah
2.2.5.1 Dampak Positif Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat adalah tergantung apa yang dilakukannya di dunia.
Jika pelaku dosa besar meninggal sebelum bertaubat, maka semuanya diserahkan kepada Allah SWT, jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, maka akan dimasukkan ke dalam neraka, tapi tak kekal di dalamnya.
2.2.5.1 Dampak Negatif Maturidiyah
Dimana iman sebagai suatu kepercayaan dalam hati, sedangkan pernyataan lisan dan amal perbuatan hanya sebagai pelengkap saja.


BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
      Melihat uaraian makalah diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.      Ada dua faktor yang menjadi penyebab keluarnya Asy’ari dari aliran Mu’tazilah dan munculnya faham Asy’ariyah yakni pertama faktor subyektif, yaitu pengakuan  Al- Asy’ari  telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak 3 kali dan alam tiga mimpinya itu Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau. Kedua faktor obyektif ialah beliau menemukan adanya beberapa pandangan yang kontroversial dalam aliran Mu’tazilah.
2.      Pemikiran atau doktrin-doktrin dari aliran Asy’ariyah yakni Tuhan dan sifat-sifat-Nya, Kebebasan dalam berkehendak (free-will), Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk, Qadimnya Al-Qur’an, Melihat Allah, Keadilan, dan Kedudukan orang yang berdosa besar.
3.      Aliran Asy'ariyah sepeninggal pendirinya sendiri mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat karena pada akhirnya, aliran Asy'ariyah lebih condong kepada segi aliran mendahulukannya sebelum nash dan memberikan tempat yang lebih luas daripada tempat untuk nash-nash itu sendiri.
4.      Tokoh-tokoh dalam aliran Asy-ariyah yang terkenal yakni Al Baqillani (wafat 403 H), Ibnu Faurak (wafat 406 H), Ibnu Ishak al Isfaraini (wafat 418 H), Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H), Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H), Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H), Al Ghazali (wafat 505 H), Ibnu Tumart (wafat 524 H), As Syihristani (wafat 548 H), Ar Razi (1149-1209 H), Al- Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Al Iji (wafat 756 H / 1359 M), dan AL Sanusi (wafat 895).
5.      Dampak positif Asy’ariyah yakni Tuhan dapat dilihat di akhirat sedangkan dampak negatifnya yakni Anggapan yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak.
6.      Aliran al-Maturidiyah ini sehenarnya tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah. Keduanya dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama.
7.      Pemikiran atau doktrin-doktrin dari aliran Asy’ariyah yakni akal dan wahyu, Perbuatan Manusia, Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, Sifat Tuhan, Melihat Tuhan, Kalam Tuhan, Perbuatan Manusia, Pelaku Dosa Besar, dan Pengutusan Rasul.
8.      Perkembangan paham al-Maturidiyah mengambil posisi ditengah-tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Aliran al-Maturidiyah terbagi dalam dua aliran yaitu al-Maturidiyah Samarkand yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi sendiri, dan al-Maturidiyah Bukhara yang dibangun oleh pengikut Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi.
9.      Tokoh-tokoh dalam aliran  al-Maturidiyah yang terkenal yakni Abu al-Qasim Ishaq b. Muhammad @ al-Hakim al-Samarqandi (m.340/951), Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493/1030-1100), Abu Hafs Umar bin Muhammad al Nasafi (460-537/1068-1143), Sa’d al Din al Taftazani (m.790/1388), Kamal al Din Ahmad al Bayadi, Abu al Hasan Ali bin Sa’id al Rastagfani, dan Abu al Laith al Bukhara.
10.  Dampak positif aliran Al Maturidiyah yakni aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Sedangkan dampak negatifnya yakni iman sebagai suatu kepercayaan dalam hati, sedangkan pernyataan lisan dan amal perbuatan hanya sebagai pelengkap saja.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah Imam Muhammad. 1996.  Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta:  Logos  Publishing House
Abduh,Syekh Muhammad. 1960. Al-Islam Bainal Ilmi wa Madaniyah. Dar al-Hilal
Ahmadi Abu. 1991. Perbandingan Agama,  Jakarta: Rineka Cipta
Al-Asy’ari Imam Abul Hasan. 2010. Al-Ibanah; Buku Putih Imam Al-Asy’ari,  Solo: At- Tibyan
Al-Fachuri, Hanna danAl-Jarr. 1958. Khalil Tarikhul falsafah al-Arabiah I. Dar al-Ma’arif:
Beirut
Al-Juwaini, Imam.  1950. al-Irsyad. Maktabah al-Khanji

Asy Syak’ah Mustofa Muhammad. 1994. Islam Tidak Bermazhab,  Jakarta: Gema Insani  Press
Bashori. 2001.  Ilmu Tauhid: Ilmu Kalam :Malang

Dahlan , Abd. Rahman dan Qarib, Ahmad.1996. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam.         Jakarta: Logos Publishing House

FaridSyaikh Ahmad. 2007. 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Hanafi, Ahmad. 1993. Teologi Islam ( Ilmu Kalam ). Cet. X. Jakarta : Bulan Bintang
Hanafi, A.2003.Pengantar Teologi Islam.Jakarta: Pustaka al-Husna Baru

Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,  Jakarta: UI  Press
Hasan Mu’arif, Ambary. Ensiklopedi Islam. Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi

Jaelani M Biari. 2007. Ensiklopedia Islam, Yogyakarta: Panji Pustaka

Karya Soekama dkk..1996. Ensiklopedia Mini, Jakarta: Kategiri  Khusun

Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Cet I. Jakarta: Sinar Grafika Offset

Musa, Yusuf. 1959.al-Aqidah Wasyari’ah fil Islam. Dar al-Kutub al-Haditsh

Musa, M. Yusuf. 1959. al-Islam wal Hajat al-Insania Illahi.as-Syarikatul Arabiah LitHiba’ati wan Nasyr

Nasr, Sayyed Hossein. 1996. Intelektual Islam, Cet I. Yogyakarta: Pustaka Pe1ajar

Rozaq Abdul, dkk..2012. Ilmu Kalam Edisi Revisi,  Bandung: Pustaka Setia
Ramli Muhammad Idrus. 2009. Mazhab Al-Asy’ari, Surabaya: Khalista
Sarkowi, 2010.Teologi Islam Klasik: Mengurai  Akar Pemikiran Aliran-Aliran Teologi
             Islam Klasik, Malang: Resist Literacy



[1]  DRS. BASHORI,  Ilmu Tauhid: Ilmu Kalam, Malang, 2001, hlm . 92.
[2] Prof. Dr. H. Abdul Rozaq, M.Ag.; Prof.Dr.H. Rosihon Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.146.
[3] Sarkowi, S.PdI, M.A, Teologi Islam Klasik: Mengurai  Akar Pemikiran Aliran-Aliran Teologi Islam Klasik,Resist Literacy, Malang, 2010, hlm. 71.
[4]Ibid.,hlm.72.
[5] DRS. BASHORI,  Ilmu Tauhid: Ilmu Kalam, Malang, 2001, hlm . 94.
[6]Ibid.,hlm.96.
[7] H. Soekama Karya dkk,  Ensiklopedia Mini, Kategiri  Khusun, Jakarta, 1996, hlm. 14.
[8] Biari M. Jaelani, Ensiklopedia Islam, Panji Pustaka, Yogyakarta, 2007, hlm. 72.
[9] DRS. BASHORI,  Ilmu Tauhid: Ilmu Kalam, Malang, 2001, hlm . 97.

[10] Prof. Dr. H. Abdul Rozaq, M.Ag.; Prof.Dr.H. Rosihon Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.147.

[11] Sarkowi, S.PdI, M.A, Teologi Islam Klasik: Mengurai  Akar Pemikiran Aliran-Aliran Teologi Islam Klasik,Resist Literacy, Malang, 2010, hlm. 74.
[12] Prof. Dr. H. Abdul Rozaq, M.Ag.; Prof.Dr.H. Rosihon Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.148.

[13]Ibid,.hlm. 75.
[14] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta,  1986, hlm. 70.
[15] Prof. Dr. H. Abdul Rozaq, M.Ag.; Prof.Dr.H. Rosihon Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.148
[16] Prof. Dr. H. Abdul Rozaq, M.Ag.; Prof.Dr.H. Rosihon Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.149.
[17]Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, Al-Ibanah; Buku Putih Imam Al-Asy’ari, At-Tibyan, Solo, 2010, hlm. 85.
[18]Ibid, hlm. 150
[19] Sarkowi, S.PdI, M.A, Teologi Islam Klasik: Mengurai  Akar Pemikiran Aliran-Aliran Teologi Islam Klasik,Resist Literacy, Malang, 2010, hlm. 77.
[20]Ibid, hlm. 150.
[21] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta,  1986, hlm. 71
[22]Ibid, hlm. 150.
[23] DRS. BASHORI,  Ilmu Tauhid: Ilmu Kalam, Malang, 2001, hlm . 100.
[24]A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Cet. 8, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003, hlm.127.

[25]Imam al-Juwaini, al-Irsyad, Maktabah al-Khanji, 1950, hlm. 41-42.
[26]M. Yusuf Musa, al-Islam wal Hajat al-Insania Illahi, as-Syarikatul Arabiah Lit
Hiba’ati wan Nasyr, 1959, hlm. 44.
[27]Yusuf Musa, et al, al-Aqidah Wasyari’ah fil Islam, Cet. 2, Dar al-Kutub al-Haditsh,
1959, hlm. 128.
[28]Hanna al-Fachuri dan Khalil al-Jarr, Tarikhul falsafah al-Arabiah I, Dar al-Ma’arif,
Beirut, 1958, hlm. 185.
[29]Syekh Muhammad Abduh, Al-Islam Bainal Ilmi wa Madaniyah, Dar al-Hilal, 1960,
hlm. 119.
[30] Muhammad Idrus Ramli,  Mazhab Al-Asy’ari, Khalista, Surabaya, 2009, hlm. 74.
[31] Muhammad Idrus Ramli,  Mazhab Al-Asy’ari, Khalista, Surabaya, 2009, hlm. 76.

[32] Muhammad Idrus Ramli,  Mazhab Al-Asy’ari, Khalista, Surabaya, 2009, hlm. 78.

[33]Ibid., hlm. 82.
[34]Ibid., hlm. 88.

[35]Ibid., hlm. 90.
[36] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007, hlm. 541.
[37] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007, hlm. 169.
[38] DRS. BASHORI,  Ilmu Tauhid: Ilmu Kalam, Malang, 2001, hlm . 98.
[39] A. Hanafi. 2003.Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru
[40] Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. 1996. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House
[41] Ibid
[42] Dr. Ihrahim Madkour. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Sinar Grafika ofset
[43] Ibid.
[44] Sayyed Hossein Nasr. 1996. Intelektual islam. Yogakarta: Pustaka Pelajar
[45] Ibid.
[46] Ibid
[47] Ibid
[48] Ibid
[49] Ambary, Hasan Mu’arif. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi
[50] Ahmad Hanafi. 1993. Teologi Islam ( Ilmu Kalam ). Jakarta : Bulan Bintang
[51] Tim Ahli Tauhid. 2003. Kitab Tauhid 2, Dar al-Haq. Jakarta
[52] Tarikh al Mazahib al Islamiyah
[53] Al-Bazdawi. Kitab Usuluddin . Al-Bazdawi. Kitab Usuluddin. Kahirah: Dr. Kahirah: Dr. Hans Piter Lins (Et. Al), Dar Haya'. Hans Piter Lins
[54] Nasution, Harun. 1978. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press
[55] Ibid
[56] Ibid
[57] Kitab Ushul al Din
[58] Harun, Teologi Islam
[59] Kitab Ushul al Din
[60] Ibid
[61] Ibid
[62] Ibid
[63] Harun, Teologi Islam
[64] Ibid
[65] Ibid

Tidak ada komentar: