DosenPengampu:
Abd.Rozaq.M.Ag
Kelompok7:
Herlina Dwi Aprilia (13620117)
Army Purwanti (13620118)
Nurul Baroroh (13620119)
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الحيم
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah serta Ajarannya dengan tepat
waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah TEOLOGI ISLAM .Penulisan makalah ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Abd. Rozaq
M.Ag sebagai dosen pengampu mata kuliah TEOLOGI ISLAM.
2.
Orang
tua yang telah banyak memberikan dukungan dan sumbangan moral maupan material.
3. Teman-teman yang telah banyak membantu penulisan makalah ini, sehingga dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan
Malang, 18 Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................... 2
1.3
Tujuan................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Faham Asy’ariyah
2.1.1 Latar Belakang Kemunculan Asy’ariyah...................................... 3
2.1.2 Doktrin-Doktrin Asy’ariyah........................................................... 8
2.1.3 Perkembangan Asy’ariyah............................................................. 15
2.1.4 Profil Tokoh-Tokoh Asy’ariyah..................................................... 17
2.1.5 Dampak Positif dan Negatif Faham Asy’ariyah............................. 24
2.2 Faham Al Maturidiyah
2.2.1 Latar Belakang Kemunculan Faham Al Maturidiyah.................... 25
2.2.2 Doktrin-Doktrin Faham Al Maturidiyah......................................... 26
2.2.3 Perkembangan Faham Al Maturidiyah........................................... 29
2.2.4 Profil Tokoh-Tokoh Faham Al Maturidiyah................................... 35
2.2.5 Dampak Positif dan Negatif Faham Al Maturidiyah...................... 36
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan.............................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 39
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Munculnya berbagai macam golongan-golongan
aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama
Islam.Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rosulullah.Ada beberapa
factor yang menyebabkan unculnya berbagai golongan dengan segala
pemikiranya.Diantaranya adalah faktor poitik sebagaimana yang telah terjadi
pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan
golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu
muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada
golingan yang lain.Golongan-golongan tersebut mempunyai
pemikiran yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih
dalam koridor Al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari
kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula
yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu.Dan ada juga
yang mnamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.
Adapun ungkapan
ahlussunnah (sering juga disebut sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni
dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini
mu’tazilah termasuk juga asy’ariyah masuk dalam barisan sunni. Sunni dalam arti
khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan
mu’tazilah.Pengertian kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan makalah
ini.Selanjutnya, termasuk ahlussunnah banyak dipakai setelah
munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang aliran Mu’tazilah.
Harun Nasution dengan meminjam keterangan Tasy Kubro Zadah menjelaskan bahwa
aliran ahlussunnah muncul atas keberanian Abu Al Hasan Al Asy’ari sekitar tahun
300 H.
Asy'ariyah sebagai salah satu aliran dalam teologi Islam, mencuat ke atas
secara vulgar sebagai manifestasi sikap kritis dan reaktif terhadap pemikiran
yang berkembang sebelumnya terutama aliran Mu'tazilah. Pendiri aliran ini tidak
pernah memberikan label nama tertentu terhadap aliran ini, tapi para
pengikutnyalah yang memberi nama dengan menisbatkan kepada pendirinya
yakni Abu Hasan Ibnu Ismail al-Asy’ari.Sekalipun pada awal kemunculannya,
aliran ini mengesankan hanya sebagai kelompok sempalan dari aliran Mu'tazilah.
Sedangkan Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M.
Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi.
Maturidiyah semasa hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia hidup di Samarkand
sedangkan Asy’ary hidup di Basrah.Asy’ary adalah pengikut Syafii dan Maturidy
pengikut Mazhab Hanafy.Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ary adalah
orang-orang Sufiyyah, sedang pengikut pengikut Maturidy adalah orang-orang
Hanafiah.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Melihat uraian diatas maka penulis dapat merumuskan
makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana Latar Belakang Kemunculan Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah?
2. Apa Saja Doktrin-Doktrin Ajaran Keduanya?
3. Bagaimana Perkembangan Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah?
4. Bagaimana Profil Tokoh-Tokoh Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah?
5. Apa Saja Dampak Positif dan Negatif Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah?
1.3 TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui Latar Belakang Kemunculan Faham Asy’ariyah dan
Maturidiyah.
2. Untuk mengetahui Doktrin-Doktrin Ajaran Keduanya.
3. Untuk mengetahui Perkembangan Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah.
4. Untuk mengetahui Profil Tokoh-Tokoh Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah.
5. Untuk mengetahui Dampak Positif dan Negatif Faham Asy’ariyah dan
Maturidiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 FAHAM ASY’ARIYAH
2.1.1 Latar Belakang Kemunculan Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah aliran
yang berasal dari nama seorang yang berperan penting, yakni pendirinya
aliran Asy’ariyah yaitu Hasan Ali bin
Ismail al Asy’ari keturunan dari Abu Musa al Asy’ary.[1]Menurut bebrapa riwayat, al Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M.
Setelah berusia 40 tahun beliau hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada
tahun 324H/935M.[2]
Menurut Ibn ‘Asakir, ayah al-asy’ari adalah seorang yang berpaham ahlusunnah
dan ahli hadis. Sebelum belia wafat, beliau berwasiat kepada seorang sahabatnya
yang bernama Zakarian bin Yahya As-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Oleh sebab
itu aliran ini dinisbahkan dari nama pendirinya atau pelopornya yaitu Hasan Ali
bin Ismail al Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang
bernama Abu ‘Ali Al-Jubba’i.
Setelah pernikahan ibunya bersama seorang tokoh Mu,tazilah. Ayah
tirinya al-Asy’ari kemudian mendidiknya hingga beliau menjadi seorang tokoh
Mu,tazilah. Beliau sering menggantikan ayah tirinya dalam perdebatan menentang
lawan-lawan Mu,tazilah. Selain berguru
kepada ayah tirinya, beliau juga berguru kepada ulama lain tentang hadist,
fiqh, tafsir, dan bahasa seperti kepada Al-Saji, Abu Khalifah al Jumhi, Sahal
ibn Nuh, Muhammad Ya’kub, Abdur Rahman ibn Khilafah dan lain-lain. Demikian
juga beliau belajar fiqh Syafi’I kepada seseorang ahli fiqh yaitu Abu Ishaqal
Maruzi seorang tokoh Mu,tazilah di bashrah.[3]
Al-Asy’ari
menganut faham Mu’tazilah hanya sampai berusia 40 tahun.Setelah itu, secara
tiba-tiba beliau mengumumkan dihadapan jamaah masjid Bashrah bahwa dirinya
telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Pada hari jum’at beliau naik ke
mimbar masjid Bashrah dan menyatakan secara resmi keluar dari aliran Mu’tazilah
dengan pidato” Wahai sekalian manusia, barang siapa mengenalku sungguh dia
telah mengenalku.Barang siapa mengenalku maka aku mengenalnya sendiri. Aku
adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, bahwa perbuatan–perbuatan
jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat dan menolak faham-faham
Mu’tazilah dan keluar daripadanya.”Para ahli sepakat al-Asy’ari keluar dari
Mu’tazilah tepat pada bulan Ramadhan tahun 280H/912 atau 300H/915.
Imam
Abu Hasan Al Asy’ari setelah keluar merumuskan ajaran-ajarannya kembali
berdasarkan manhaj salafuh saleh, dengan mendasarkan kepada nash Al-qur’an dan
Hadist, tetapi menerangkan dengan menggunakan metode scholatis yang rasional
sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata rumusan-rumusan ajaran beliau diterima oleh mayoritas umat
islam.
Harun Nasution
menyebutkan bahwa lahirnya aliran ini dianggap sebagai tonggak kemenangan
ahluhsunnah wal jamaah adalah sebagai reaksi atas munculnya aliran Mu’tazilah yang
tidak banyak berpegang pada sunnah atau tradisi nabi Muhammad sehingga aliran ini
mendapat dukungan masyarakat yang sangat minor.
Seorang pengikut
al-Asy’ari yaitu Ibn Asakir menjelaskan bahwa selama kamu belajar ilmu kalam
kepada AL-Jubbai, dia seringkali mengajukan beberapa pertanyaan kepada guru dan
ayah tirinya tidak ada yang memuaskan dirinya. Akibatnya ia selalu berada dalam
kebingungan tentang keyakinan yang dipegangnya. Ditengah kebingungan yang
melanda Al-Asy’ari, seperti cerita Ibn Asakir pernah berkata “ Dalam benakku
terdapat sesuatu yang ganjil, kemudian saya shalat dua rakaat dan memohon
kepada Allah untuk ditunjukkan kejalan yang benar, kemudian saya tidur dan
mimpi bertemu Nabi, saya mengadukan kegundahanku kepada beliau kemudian beliau
bersabda ‘tetaplah kau berpegang teguh pada sunnahku’ kemudian saya terjaga dan
seketika saya memelajari persoalan kalam yang terdapat dalam Al-qur’an dan
hadis dan saya mengabaikan persoalan-persoalan yang lain”.
Ada dua faktor
yang menjadi penyebab keluarnya Asy’ari dari aliran Mu’tazilah. Pertama faktor
subyektif, yaitu pengakuan Al-
Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan
Rasulullah SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, malam ke-20, malam
ke-30 bulan Ramadhan.Dalam tiga mimpinya itu Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan
faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[4]
Kedua faktor obyektif ialah beliau menemukan adanya beberapa
pandangan yang kontroversial dalam aliran Mu’tazilah. Salah satunya adalah
dialog Asy’ari dengan al-Juba’i yang berakhir dengan ketidakpuasan imam Asy’ari
karena al-Juba’i tidak bisa menjawab pertanyaan yang beliau utarakan. Salah
satu diaolog itu adalah mengenai kedudukan seorang mukmin, kafir dan anak
kecil. Sebagaimana yang telah terangkum dalam perdebatan dengan Asy’ari bersama Al-juba’i :
Al-Asy’ari
: Bagaimana kedudukan ketiga orang
berikut yakni, mukmin, kafir, dan anak
kecil di akhirat ?
Al Jubba’i :
Yang mukmin mendapat tingkat baik didalam surga, yang kafir masuk neraka dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari :
Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi disurga, mungkinkah itu ?
Al Jubba’i :
Tidak yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya
kepada tuhan, sedang si kecil itu belum mempunyai kepatuhan.
Al-Asy’ari :
Kalau anak kecil itu mengatakan kepada tuhan, itu bukan salahku. Jika
sekiranya engkau bolehkan aku terus
hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan
baik seperti yang dilakukan orang-orang mukmin.
Al Jubba’i :Allah akan menjawab : Aku tahu
bahwa jika engkau terus hidup engkau akan
berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukuman. Maka untuk
kepentingan mu. Aku cabut nyawamu
sebelum engkau sampai pada umur tanggung jawab.
Al-Asy’ari :
Sekiranya yang kafir mengatakan Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya.Apa sebabnya
Engkau tidak jaga kepentinganku?
Dan
sampai disini al Jubba’Ii terpaksa diam.[5] Untuk selanjutnya al Asy’ari menjadi merasa ragu-ragu
akan kebenaran doktrin Mu’tazilah yang selama ini beliau anut. Kemudian beliau mengasingkan diri dirumah selama lima belas tahun
untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi perasaan syak dalam diri al Asy’ari yang
kemudian mendorongnya untuk meninggalkan faham Mu’tazilah ialah karena al
Asy’ari menganut madzhab Syafi’i.yang konsep teologinya berlainan dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sebagaiman dalam pernyataan al Syafi’i bahwa
Al-qur’an adalah tidak diciptakan tetapi bersifat qadim dan Tuhan dapat dilihat
diakhirat nanti.
Disamping itu Asy’ari melihat adanya perpecahan dikalangan kaum
muslimin yang dapat melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Dan ia
sangat khawatir, kalau Al-qur’an dan hadist-hadist nabi
menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya itu tidak
dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran.
Dan Asy’ari menerima Ilmu Kalam bukan cuma dalam pembicaraan dan
perdebatan, melainkan juga dengan menulis berbagai buku, ada yang menyebutkan
kira-kira 90 buah buku karangan yang berkaitan dengan ilmu kalam, tapi yang
paling penting terkenal dikatakan oleh A. Hanafi MA ada tiga yaitu :
1.
Maqalat
al Islamiyyin (pendapat golongan-golongan islam), yaitu kita yang pertama kali
dikarang tentang kepercayaan golongan islam dan merupakan sumber terpenting
karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab ini dibagi tiga, pertama
berisi pendapat bermacam-macam golongan islam, kedua tentang pendiri ahli
hadist dan sunnah, dan ketiga tentang bermacam-macam persoalan ilmu kalam.
2.
Al-Ibanah
‘an Ushul Addiyanah (keterangan tentang dasar-dasar agama). Kitab ini
menguraikan kepercayaan ahli sunnah dengan pujian Ahmad bin Hanbal dan
menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
3.
Alluma’
(sorotan) isinya untuk membantah lawan-lawannya dalam persoalan ilmu kalam.[6]
Salah satu hasil rumusan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang
akidah, yang diikuti oleh umumnya kaum muslimin yang bermazhab al-Syafi’i
adalah “ sifat dua puluh” dasar pemikiran adanya rumusan “sifat dua puluh” bagi
Allah adalah pemikiran filsafat Yunani tentang wujud. Dalam filsafat Yunani,
seperti terlihat pada pemikiran Ibn Sina, wujud itu terbagi tiga, wajib
al-wujud, mukmin al-wujud, dan mustabil al-wujud yaitu wujud yang wajib, wujud
yang mungkin dan wujud mustahil. Wujud Allah merupakan wujud yang wajib atau
wajib al-wujud .karena wujud Allah itu wajib, maka sifat Allah pun wajib sebab,
dalam pandangan ahlu sunnah, sifat dan zat merupakan dua entitas yang tidak
dapat dipisahkan. Menurut Imam abu al-Hasan al-Asy’ari sifat yang wajib pada
Allah itu ada dua puluh sifat, seperti umum yang diyakini oleh kaum muslimin di
Indonesia.[7]
Al-Asy’ari merumuskan pandangan teologinya dalam al-Luma’ fi
ar-Radd ala ahl az-Ziyag wa al-Bida’.Bekal dalam menjawab orang-orang yang
menyimpang dan melakukan bidah.[8]Dalam
usaha positif beliau mengambil jalan tengah antara mempertahankan kepercayaan
dan penggunaan akal dalam memahami masalah ke Tuhanan.Sikap sintesis ini sangat
besar pengaruhnya dan menyebabkan kaum muslimin tidak mengetahui
benturan-benturan yang berarti dengan kemajuan-kemajuan dan penemuan-penemuan
modern.Sikap kaum Mu’tazilah yang mengkultuskan akal dapat dinetralisir dalam
Asy’ariyah.
Tetapi bagaimanapun al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah
seketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan.Setelah
al-Mutawakkil membatalkan putusan al-Ma’mun tentang penerimaan aliran
Mu’tazilah sebagai mazhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun,
apalgi setelah al-Mutawakkil menunjukkan sikap dan penghormatan terhadap diri
Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah al- Asy’ari keluar dari golongan
Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang
berpegang kuat pada hadist. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemajuan
aliran Asy’ariyah dan cepat mendapatkan simpati dikalangan kaum muslimin pada
waktu itu antara lain :
1.
Mempunyai
tokoh-tokoh kenamaan yang dapat mengkonstruksikan ajaran-ajarannya atas dasar
filsafat metafisika.
2.
Kaum
muslimin pada waktu itu telah bosan menghadapi dan mendengar diskusi atau
perdebatan-perdebatan pada perbedaan pendapat pertentangan persoalan al-Qur’an
khususnya yang dicetuskan oleh aliran Mu’tazilah, sehingga menyebabkan tidak
simpatinya terhadap aliran tersebut.
3.
Al-Asy’ari
doktrin-doktrinnya yang dikeluarkan mengambil jalan tengah antara golongan
rasional dan golongan tekstualis, dan ternyata jalan tersebut dapat diterima
oleh mayoritas kaum muslimin.
4.
Sejak
masa khalifah Al-Mutawakkil (Bani Abassiyah) pada tahun 848 M, khalifah
membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara, sehingga kaum
muslimin pun tidak mau menganut aliran yang telah dibatalkan (ditinggalkan)
oleh khalifah, beralih kepada aliran Asy’ariyah yang didukung oleh khalifah.[9]
Formulasi pemikiran Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah
upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu’tazilah
pada sisi lain. Dari segi etosnya pergerakan tersebut memiliki semangat
ortodoks.Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis
terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa 100 % menghindarinya. Corak
pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt dipengaruhi teologi Kullabiah
(teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullab).[10]
2.1.2 Doktrin-Doktrin Asy’ariyah
Adapun pemikiran atau doktrin-doktrin dari
aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut :
a.
Tuhan
dan sifat-sifat-Nya
Mengesahkan Allah adalah wajib, namun perbedaan pendapat tentang
sifat-sifat Allah tidak dapat dihindarkan.Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah
tentu imam Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat.Menurut beliau,
mustahil tuhan mengetahui dengan dzat-Nya karena dengan demikian dzat-Nya
adalah pengetahuan dan tuhan sendiri adalah pengetahuan.
Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim).Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah dzat-Nya. Demikian
pula dengan sifat-sifat yang lain, seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan
melihat Al-Asy’ari menjelaskan bahwa sifat-sifat tuhan itu bukan sesuatu yang
lain yang berada diluar dzat Tuhan, melainkan sesuatu yang inheran ada dalam
zat. Rumusan Al-Asy’ari sebagai berikut :
معنى انالله عا لم ان له علما ومعنى انه قادر ان
له قدرة ومعنى انه حيان له حياة
“ Pengertian
Allah itu zat yang mengetahui adalah bahwa ilmu itu ada bagi Allah,….,…”
إن أسمأ الله و صفا ته لذا ته لا هي غيره وإنها قا ئمة با
لله
“ Sesungguhnya asma dan sifat-sifat Allah itu ada pada zat-Nya,
sifat dan asma itu juga tidak lepas dari Allah. Bukan sesuatu yang lain yang
berada diluar Allah.”
Dalam rumusan
tersebut, rumusan yang diberikan oleh Al-Asy’ari membuat kita bisa
mengibaratkannya dengan seorang laki-laki, katakanlah si A. Wujud
si A
hanya satu, sendiri,tetapi ia memiliki sifat-sifat dan juga
perbuatan-perbuatan, akan tetapi sifat-sifat itu bukanlah wujud dari si A.
Pengkiyasan
bsemacam ini tidak bisa diartikan sebagi pemersamakan antara tuhan dengan
manusia, melainkan harus difahami sebagai sesuatu metode yang agak dekat bisa
diterima secara rasio dalam menjelaskan tentang sifat dan zat Tuhan.[11]
Asy-Ari’yah sebagai aliran tradisonal yang memberikan daya kecil kepada akal
juga menolak faham-faham Tuhan mempunyai sifat jasmani dipandang sama dengan
sifat jasmani manusia.
Hal ini tidak
boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiahnya.Oleh sebab
itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ari mempunyai mata, wajah, tangan serta
bersemayam disinggasana. Namun semua itu la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa
diketahui bagaimana cara dan batasnya).
b.
Kebebasan
dalam berkehendak (free-will)
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta
mengaktualisasikan perbuatannya.Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah diantara
dua pendapat yang eksterem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham
pra-determinisme semata-mata.Dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan
mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[12]
Aliran Asy’ariyah memandang manusia itu lemah.Dalam hal ini kaum
Asy’ariyah lebih dekat kepada paham jabariah daripada paham Mu’tazilah.Manusia
dalam kelemahannya banyak bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk
menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak
Tuhan, imam Asy’ari memakai kata al-kasb (perolehan).
Imam Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb.Menurutnya
Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakan (muktasib).Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu
termasuk keinginan manusia.Arti iktisab menurut imam Asy’ari adalah
sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan dan dengan demikian
menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu
timbul.[13]
Dari sini al-Asy’Ari mengemukakan teori kasb tersebut dalam :
Dalam kitabnya Al-luma beliau memberikan penjelasan yang sama. Arti
sebenarnya kata al-kasb adalah bahwa sesuatu timbul dari muktasib (yang
memperoleh) dengan perantara daya yang diciptakan.Term-term “diciptakan” dan
“memperoleh” mengandung pemahaman kelemahan manusia diperbandingkan dengan
kekuasaan mutlak Tuhan, dan pertanggungjawaban manusia atas
perbuatan-perbuatannya.
Berkata imam Asy’ari :” Sesungguhnya manusia itu berusaha untuk
melakukan suatu perbuatan, namun sering terjadi bahwa hasil perbuatannya itu
bukan seperti apa yang dikehendaki dan apa yang diusahakan. Ini berarti bahwa
manusia itu tidak menciptkan perbuatannya.Dari sini al-Asy’ari mengemukakan
teori kasb.Yaitu :
الكسب هو تعلق القدرة العبد وإرادته با لفعل المقدور المحدث
من اللهتعلى على الحقيقة
“ Kasb adalah tergantungnya
kudrah dan iradah (kehendak) manusia kepada perbuatan yang terjadinya itu
ditakdirkan oleh Tuhan pada hakekatnya.”
Menurut Asy’ari manusia mempunyai kudrah dan
iradah untuk berbuat, hanya saja ia tergantung kepada takdir dari
Allah.orientasi perbuatan manusia al-Asy’ari adalah hubungan antara perbuatan
manusia dengan hasilnya, keberhasilannya atau
kegagalannya. Apa yang
dikerjakan manusia, kepastian hasilnya tidak ditentukan oleh manusia melainkan
oleh “perbuatan” Tuhan.
Suatu bidang yang tidak menjadi tekanan pembicaraab Mu’tazilah
lebih menekankan pada orientasi taklif. Yakni Tuhan memberikan taklif kepada
manusia sejalan dengan pemberian kebebasan kepada manusia untuk berbuat, dan
perbuatan yang dikerjakan menurut kehendak dan kebebasannya itulah Tuhan akan
menghisabnya. Misalnya, kalau manusia dibebani kewajiban shalat, itu karena
manusia memiliki daya dan kekuatan untuk melakukannya.
Perbuatan-perbuatan manusia, bagi al-Asy’ari buukanlah diwujudkan
oleh manusia sendiri melainkan diciptakan oleh Allah.Perbuatan kufr adalah
buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat
baik.Apa yang dikehendaki orang kafir ini tidak dapat diwujudkannya. Dengan
demikian yang mewujudkan perbuatan kufr itu bukanlah orang kafir yang tak
sanggup membuat kufr bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan
Tuhan memang berkehendak supaya kufr bersifat buruk.[14]
c.
Akal
dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Meskipun
Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu,
tetapi berbeda dalam menghadapi peersoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu.
Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.Dalam
menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.Al-Asy’ari
berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah
mendasarkannya pada akal.[15]
d.
Qadimnya
Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam persoalan
qadimnya Al-Qur’an diciptakan (makhluk), dan tidak qadim serta pandangan mazhab
Hambali dan Zahiriah yang menyatakan bahwa Al- Qur’an adalah kalam Allah (yang
qadimnya tidak diciptakan).Bahkan, Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf,
kata-kata, dan bunyi al-Qur’an adalah qadim.
Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan
itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur’an terdiri atas kata-kata,
huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak
qadim. Nasution mengatakan bahwa al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidak diciptakan
sebab apabila diciptakan, sesuai dengat ayat :[16]
إٍنَّمَا
قَوْ لُنَا لِشَىْءٍ اِذَااَرَدْنَاهُ اَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
“ Sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami
menghendakinya, kami hanya mengatakan kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah sesuatu
itu.” (Q.S. An-Nahl:40)
e.
Melihat
Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem,
terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dengan
mempercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy.Selain itu, Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengikari ru’yatullah (melihat Allah)
di akhirat. Dengan berdalilkan firman
Allah Ta’ala:[17]
لَاتُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُوَهُوَيُدْرِكُ
الْاَبْصَارَوَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ
“ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia
dapat melihat segala penglihatan itu. “ (QS. Al-An’am : 103)
Dan dalam firman Allah yakni surah Qiyamah ayat 22-23 dan surah
Al-Araf ayat 143 yang berbunyi :
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَا ضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا
نَا ظِرَةٌ
” Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari
itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al Qiyamah : 22-23)
وَلَمَّا جَا ءَ مُوْسَى لِمِيقَتِنَا وَ كَلَّمَهُ رَبُّهُ
قَالَ رَبِّ أَ رِ نِى أَنظُرْإِ لَيْكَ قَالَ لَنتَرَنِى وَلَكِنِ اُنْظُرْ إِلَى
الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَا نَهُ فَسَوْفَ تَرَنِى فَلَمَّا
تَجَلَّىرَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا
أَفَاقَ قَالَ سُبْحَنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَ نَاْ أَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ
” Dan takkala Musa datang untuk (munajat
dengan kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman
(langsung) kepadanya, berkatalah Musa ” Ya Tuhanku nampakkanlah (diri engkau)
kepadaku agar aku dapat melihat kepada engkau.” Tuhan berfirman : ”Kamu
sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia
tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Takkala
Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur
luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata
: ” Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama-tama beriman.”(QS. Al-Araf :143)
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di
akhirat. Tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat dijadikan
terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[18]
Menurut Al-Asy’ari karena Allah adalah Wujud,
maka Allah dapat dilihat.Allah mempunyai sifat al-Bashar, yaitu sifat qadim
yang lekat pada Dzat-Nya, tanpa menggunakan biji mata ataupun alat-alat
penglihatan yang dikenal manusia. Sebagaimana pula bahwa Allah mempunyai sifat
Al-Mukhalafah lil Hawadits (tidak sama dengan barang baru/ makhluk), sehingga
Allah tidak memiliki sifat sedikitpun yang mirip dengan sifat mahluk-Nya, dan
tidak bisa digambarkan. Dan kemungkinan
ru’yat dapat terjadi manakala Allah menciptakan kemampuan penglihatan manusia
untuk melihat-Nya.[19]
f.
Keadilan
Pada
dasarnya Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya
berbeda dalam memandang makna keadilan. Menurutnya Asy’ari keadilah adalah
menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenaranya, yaitu mempunyai kekuasaan
mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan
kehendak dan pengetahuan pemilik.
Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti
bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan berbuat
sekehendak hati-Nya dalama kerajaan-Nya. Ketidakadilan
berarti sebaliknya, yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu
berkuasa mutlak terhadap hak milik orang lain. Beliau berpendapat bahwa Tuhan
tidak berbuat salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dank
arena di atas Tuhan tidak ada hukum dan undang-undang yang berlaku maka
perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.Dengan demikian Tuhan
tidak bisa dikatakan tidak adil.
Sehingga pada dasarnya Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran
Mu’tazilah yang mengharuskan Tuhan berbuat adil sehingga ia hanrus menyiksa
orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurut
Asy’ari bahwa Allah tidak memiliki keharusan apa pun karena ia adalah penguasa
mutlak.[20]
g.
Kedudukan
orang yang berdosa besar
Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena
imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq.
Sekiranya orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka
dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman dengan demikian bukanlah ia
atheis dan bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidaj musuh.Hal serupa ini
tidak mungkin, oleh karena itu pula mungkin bahwa orang yang berdosa besar
bukan mukmin dan pula kafir.[21]
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut
Mu’tazilah.Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi
seseorang harus satu diantaranya.Jika tidak mukmin, ia kafir. Sehinnga al-Asy’ari
berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab
iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[22]
Jadi dapat dirangkum pokok-pokok ajaran Asy’ariyah ialah :
1.
Tentang
pelaku dosa besar, tidak menjadi kafir, ia tetap mukmin. Sebagai orang berdosa
masih terbuka pintu taubat untuk memperoleh ampunan-Nya.
2.
Mengakui
sifat Tuhan bukan Dzat-Nya, maka tuhan mengatuhui bukan dengan dzat-Nya,
melainkan denagan pengetahuan-Nya.
3.
Soal
imamah tidak jauh dengan Khawarij dan Mu’tazilah karena islam sesudah
Rasulullah, maka menunjuk seseorang imam harus didasarkan azas musyawarah dan
pilihan syah.
4.
Qur’an
bukan diciptakan, Qur’an sebagi kalamullah adalah qadim bukan hadits ataupun
diciptakan, sedangkan al-Qur’an yang terdiri dari huruf-huruf dan suara adalah
baru.
5.
Tuhan
dapat dilihat dengan mata kepala di akherat.
6.
Perbuatan-perbuatan
manusia diciptakan Tuhan.
7.
Semua
yang diperintahkan adalah baik dan sebaliknya segala sesuatu yang dilarang
tuhan adalah buruk. Namun tidak ada baik dan buruk secara mutlak, karena
semuanya itu menurut perintah Allah.
8.
Keadilan
Tuhan adalah kekuasaan mutlak yang tanpa batas itu, adalah adil kalau tuhan
mensurgakan dan menerakakan semua orang.
9.
Tuhan
menghendaki kebaikan dan keburukan.
10.
Tuhan
tidak berkewajiban membuat yang baik dan terbaik dan memberi pahala kepada
orang yang taat dan memberi siksaan atas orang yang durhaka.
11.
Kebaikan
dan keburukan bukan ditentukan oleh akal melainkan wahyu.
Demikianlah aliran Asy’ariyah tibul dengan semangat perlawanan yang
gigih terhadap kaum Mu’tazilah. Dan untuk perkembangan aliran ini, selanjutnya
akan tampak jelas dalam kaum muslimin yang dikenal dengan ahlus sunnah wal
jamaah.[23]
2.1.3 Perkembangan Asy’ariyah
Pikiran-pikiran
Imam al-Asy'ari, merupakan jalan tengah antaragolongan-golonganberlawana atau
antara aliran rasionalis dan tekstualis.Dalam mengemukakan dalil dan alasan, ia
juga memakai dalil-dalil akal dannaqli bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Qur'an dan al-Hadits, iamencari
alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya. Jadi ia tidakmenganggap
akal pikiran sebagai hakim atas nash-nash agama untukmena’wilkan dan melampaui
ketentuan arti lahirnya, melainkan dianggapnyasebagai pelayan dan penguat arti
lahir nash tersebut. Ia tidak meninggalkancara yang lazim dipakai oleh ahli
filsafat dan logika, sesuai dengan alampikiran dan selera masanya. Meskipun demikian,
Imam al-Asy'ari tetap
menyatakan kesetiaanya kepada Imam Ahamd bin Hanbal atau aliran
ahlussunnah yaitu suatu aliran yang menentang aliran Mu’tazilah sebelum al-Asy'ari,
bahkan ia mengikuti jejak ulama salaf yaitu sahabat-sahabat dantabi’in-tabi’in,
terutama dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, di manamereka tidak
memerlukan pena’wilan, pengurangan atau melebihkan ataumelebihkan arti
lahirnya.[24]
Akan tetapi aliran Asy'ariyah sepeninggal pendirinya sendiri mengalami perkembangan
dan perubahan yang cepat karena pada akhirnya, aliran Asy'ariyah lebih condong
kepada segi aliran mendahulukannya sebelum nash dan memberikan tempat yang
lebih luas daripada tempat untuk nash-nash itu sendiri. Al-Juwaini sudah berani
memberikan ta’wilan terhadap ayat-ayatmutasyabihat.[25]
Bahkan menurut al-Ghazali, pertalian antara dalil akal dengandalil syara’
(naqli) ialah kalau dalil akal merupakan fondamen bagi sesuatubangunan, maka
dalil syara’ merupakan bangunan itu sendiri. Fondamen
tidakakan ada artinya, kalau tidak ada bangunan di atasnya, sebagaimana
bangunantidak akan kokoh senantiasa tanpa fondamen.[26]
Buku al-Ghazali yang lain, yaitu al-Iqtishad, dimaksudkannya untuk memberikan
kepercayaan (aqidah) yang tengah-tengah antara golongan yang terlalu memegangi
akal, yaitu golongan filosof dan Mu’tazilah, sehingga pikiran-pikiran mereka
berlawanan dengan nas-nas yang sudah pasti. Kedua macam sifat tersebut yang
hanya memihak kepada salah satu segi, tidak dapatdibenarkan, sebab sebenarnya
sebagaimana halnya dengan orang yang melihat dengan baik memerlukan mata yang
sehat dan sinar matahari bersama-sama. Namun buku itu sendiri, yaitu al-Iqtihad,
yang berarti metode rate (jalan tengah) cukup menunjukkan aqidah yang ditempuh
oleh pengarangnya, suatu aqidah dari ahlussunnah. Jadi aliran Asy'ariyah pada
akhir perkembangannyamendekati aliran Mu’tazilah, karena kedua aliran tersebut
memegangi prinsipyang mengatakan bahwa: “pengetahuan yang didasarkan atas
unsur-unsurnaqli (tradisional) tidak memberikan keyakinan kepada kita”. Merekamemandang
bahwa pengetahuan tersebut tidak mempunyai nilai kebenaranmutlak (absolut),
kecuali dalam hal-hal yang bertalian dengan amalan-amalansyara’ (fiqih), sedang
untuk masalah aqidah hanya bisa mencapai nilaisekunder.Karena itu hanya
dalil-dalil akal pikiran saja yang memungkinkankita mencapai keyakinan.[27]
Kelanjutannya ialah apabila dalil-dalail naqli berisi hal-hal yang tidak bisa
diterima akal, maka dalil itu harus dita’wilkan, karena akal pikiran harus didahulukan
daripada dalil naqli.[28]Bagaimana
besarnya pengaruh prinsip tersebut (mendahulukan akal) dapat kita lihat pada
Syekh M. Abduh yang mengatakan bahwa prinsip tersebut sudah disepakati oleh
kaum muslimin, kecuali mereka yang tidak bisa dipercayai pikiran-pikirannya.[29]
Bahkan menurut Ibnu Jauzi kecenderungan kepada metode aliran Mu’tazilah sudah
terlihat sejak dari masa pendiriannya yang pertama, yang karenanya ia
mengatakan bahwa Imam al-Asy'ari selamanya menjadi orang Mu’tazilah.
Kecenderungan inilah yang menyebabkan mengapa orang-orang pengikut madzhab
Hanbali (ahlussunnah) merasa tidak puas terhadap aliran Asy'ariyah dan
mengadakan perlawanan yang sengit terhadap mereka, seperti yang pernah
dilakukannya terhadap aliran Mu’tazilah, dan puncak perlawanannya terjadi pada
masa Ibnu Taimiah. Biar bagaimanapun juga
prinsip yang dipegangi oleh aliran Asy'ariyah,
namun aliran ini dapatmenggantikan aliran Mu’tazilah dan dipeluk oleh
kebanyakan kaum muslimin sampai sekarang.
2.1.4 Profil Tokoh-Tokoh Asy’ariyah
Adapun nama tokoh-tokoh dalam aliran Asy-ariyah yang terkenal
antara lain sebagai berikut :
1.
Al
Baqillani (wafat 403 H)
Menurut
penuturan Ibn Khalkan, nama lengkapnya adalah Al-Qadli Abu Bakar Ibn Thayyib
Ibn Muhammad Ibn Ja'far Ibn Qasim, tetapi ia lebih popular dengan nama
al-Baqillani. Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti. Tapi
Ibnu Khalkan hanya berani memberikan informasi bahwa masa awalnya
dibesarkan di Bashrah. Yang dapat diketahui secara pasti beliau meninggal di
Baghdad tahun 403 H / 1013 M.[30]
Otorita
intelektualnya diperoleh dari dua orang murid utama al-Asy'ari, yakni Abdillah
Ibn Mujahid serta Hasan al-Bahili.Al-Baqillani dikenal sebagai pakar ilmu
kalam, An-Nadlar, serta ilmu Ushul.Ketiga ilmu tersebut diperoleh dari Ibn
Mujahid. Menurut Ibn Asakir, ketiga ilmu tersebut juga diperdalam
bersama-sama Ibnu Furak dan al-Asfaraini. Apabila
Asfaraini lebih banyak mendekati Al-Bahili, maka al-Baqillani dan Ibn Furak
lebih banyak mendekati Mujahid. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah,
Al-Baqillani
merupakan salah seorang Mutakallimin Asy'ariyah yang terbaik.
Al-Baqillani dikenal sebagai orator, dan agitator yang mengagumkan karena ia memiliki gaya retorika yang komunikatif, juga piawai dalam berdiplomasi. Kemampuan al-Baqillani disempurnakan dengan kemampuan menulis buku secara produktif.Diantaranya seperti kitab I’jazul Qur’an, kitab pertama beliau yang diterbitkan dan paling tinggi nilainya.
Al-Baqillani dikenal sebagai orator, dan agitator yang mengagumkan karena ia memiliki gaya retorika yang komunikatif, juga piawai dalam berdiplomasi. Kemampuan al-Baqillani disempurnakan dengan kemampuan menulis buku secara produktif.Diantaranya seperti kitab I’jazul Qur’an, kitab pertama beliau yang diterbitkan dan paling tinggi nilainya.
2.
Ibnu
Faurak (wafat 406 H)
Al Imam Abu Bakar Muhammad bin Al Hasan bin Furak al Ashbihani
al-Syafi’I, pakar fiqih mazhab al-Syafi’I, ushul fiqih, teologi, sastra,
gramatika dan lain-lain. Tidak ada data yang menjelaskan ia pernah tinggal di
Irak untuk belajar al-Syafi’I dan teologi mazhab al-Asy’ari kepada al Bahili,
murid al-Asy’ari.
Selain pakar dalam bidang teologi Ibn Furak juga pakar dalam bidang
ilmu hadist.Beberapa ahli hadist terkemuka seperti al-Hakim, al-Baihaqi, dan
lain-lain telah belajar hadist kepadanya.Ibn Furak termasuk ulama yang sangat
produktif dengan menulis, sekitar seratus karangan dalam berbagai studi seperti
ushul fiqih, hadist, teologi, fiqih dan lain-lain.Diantarakaryanya adalah Musykil
al-Hadist, Musykil al-Atsar, Tafsir al-Qur’an, Syarh Awa’il al Adillah,
Thabaqat al Mutakallimin dan lain-lain.[31]
Ibn Faruk adalah ulama yang sangat gigih dalam memperjuangkan faham
ahlu sunnah wal jamaah membela kebenaran dan memberantas kesesatan dalam hal
akidah terutama menghadapi kelompok Karramiyah, aliran yang berfaham tajsim dan
didirikan oleh Muhammad bin Karram al-Sijistani. Hal tersebut mendorong
pengikut Karramiyah untuk memifitnah Ibn Furak kepada Sultan Mahmud bin
Subaktikin al-Ghaznawi. Mereka melaporkan kepada sultan bahwa Ibn Furak
mengikari kenabian nabi Muhammad SAW setelah wafatnya.
3.
Ibnu
Ishak al Isfaraini (wafat 418 H)
Al Imam Ruknuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim bin
Mihran al-Asfarayini, ulama terkemuka dalam bidang teologi, ushul fiqih, dan
fiqih ynag diakui mencapai derajat mujtahid pada masanya dan memiliki banyak
karya yang menabjukan. Selain itu beliau juga seorang muhaddist yang dipercaya.
Abu Ishaq al-Asfarayini sangat dihormati oleh para ulama hal itu
disamping karena faktor ketinggian ilmunya juga karena ketekunannya dalam
beribadah.Al Hafizh Abdul Ghafir al Farisi mengatakan, al-Ustadz Abu Ishaq
merupakan ulama yang menjadi kebanggaan negeri-negeri didaerah timur terutama
Khurasan dan sekitarnya.
Dia seorang ulama yang sangat tekun dalam beribadah. Abu Iahaq
wafat tahun 418 H / 1027 M, dan meninggalkan beberapa karya yang penting antara
lain al-Jami’ fi Ushul al-Din wa al-Radd ‘ala al-Mulhidin, Masail al-Daur,
al-Ta’liqah fi Ushul al-Fiqh dan lain-lain.[32]
4.
Abdul
Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
Abu Mashur Abdul Qahir bin Thahir bin Muhammad al-Tamimi
al-Baghdadi, ulama terkemuka pada masanya dalam bidang fiqh, ushul fiqih,
teologi, faraidh,hisab dan lain-lain. Selain kharismatik Abu Mashur al-Baghdadi
juga terkenal sangat berwibawa.Karya-karyanya banyak menjadi komsumsi kaum
pelajar, karena susunan bahasanya yang bagus, pemaparannya yang lugas dan
metedologinya yang sistematis.
Dia juga ulama yang produktif, dengan sejumlah karyanya yang
dihasilkan dan menjadi komsumsi para pelajar hingga dewasa.Diantara karyanya
adalah Ushul al-Din, al-Nasikh wa al-Manshuk, Tafsir Asma’ Allah al-Husna,
Fadhail al-Qodariyah, al-Takhmiyah dalam bidang hisab.Abu Manshur wafat pada
tahun 429 H/ 1037 M di Asfarayin dan makamnya berdampingan dengan makam gurunya
al ustadz Abu Ishaq al-Asfarayini.
5.
Imam
al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
Nama lengkapnya
adalah Badul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayawi.
Dilahirkan pada tanggal 18 Muharram tahun 419 H. bertepatan dengan tanggal 12
Pebruari 1028 M. di Bustanikan, sebuah desa dekat Naisabur.
Beliau meniggal dunia pada usia 59 tahun,
tepatnya pada tanggal 25 Rabi'ul Akhir 478 H., di kota kelahirannya. Ia dikenal
dengan panggilan Abul Ma'ali yang menunjukkan pengakuan umat atas kepakarannya,
keagamaan, serta ketokohannya di tengah-tengah masyarakat luas.
Selanjutnya secara berturut-turut ia
mempelajari ilmu fikih di bawah bimbingan Abul Qasim Al-Asfarayani, dan
memperdalam pengetahuan tentang Alquran di bawah bimbingan Ibnu Muhammad
an-Naisaburi al-Khabazi, belajar tentang Hadits kepada Abu Said Abdurrahman bin
An-Naisaburi, memperdalam ilmu Lughah kepada Syeh Hasan bin Faidlol bin Ali Jasyi’iy,
serta memperdalam filsafat secara otodidak.
Pada tahun 450
H/1058 M, ia mengajar di Makkah dan Madinah, dan baru pulang setelah Nidzamul
Mulk berkuasa karena mendapat panggilan untuk mengajar di sekolah tersebut.
Al-Juwaini melaksanakan tugas itu dengan baik sampai beliau meninggal dunia
pada tahun 478 M/1085 M.
6.
Abdul
Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
Al Imam Abu al Muzhafar Syahfur bin Thahir bin Muhammad
al-Asfarayani, yang menyandang gelar al-imam, al-ushuli, al-faqih, al mufassir,
al-mutakallim, pakar dalam bidang teologi, ushul fiqih, fiqih dan tafsir. Tidak
ada data yang menginformasikan biografinya secara detail.
Beliau ditugasi oleh perdana Menteri Nizhamul Mulk untuk mengajar
di universitas Nizhamiyyah di Thus, Iran.Dia belajar hadist kepada murid-murid
al-Hafizh Abu al-Abbas al Asham dan belajar teologi dan ushul kepada al-ustadz
Abu Mashur Abdul Qahir.Dia menulis karangan tafsir al-Qur’an dalam bahasa
Persia berjudul Taj al-Tarajim fi Tafsir al-Qur’an lil-A’ajim. Karangannya yang
sampai kepada kita adalah al-Tafsir fi al-Din wa Tamyiz al-firqah al-Najiyah
‘an-al Faraq al-Halikin dalam bidang teologi dan perbandingan sekte. Kitab ini
sangat bagus dalam memaparkan kebenaran mazhab ahlu sunnah wal jamaah.[33]
7.
Al
Ghazali (wafat 505 H)
Al-Ghazali
dilahiran pada pada abad kelima Hijriyah tepatnya pada 450 H di Thus,
Salal, Kharasan. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhamad bin Ahmad
al-Ghazali, yang mendapat gelar Hujjatul Islam Zainuddin at-Thusi al-Faqih
as-Syafi’i.
Disamping itu,
al-Ghazali juga mendapat gelar lain yaitu Bahr Mughriq.
Semenjak kecil, al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan Ia memiliki kecenderungan untuk melihat sesuatu sampai kepada akar-akamya Hal ini terlihat jelas lewat pernyataannya: "Kehausan mendapatkan hakekat sesuatu sudah menjadi tabiat dan kebiasaan semenjak masa kecil saya.
Semenjak kecil, al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan Ia memiliki kecenderungan untuk melihat sesuatu sampai kepada akar-akamya Hal ini terlihat jelas lewat pernyataannya: "Kehausan mendapatkan hakekat sesuatu sudah menjadi tabiat dan kebiasaan semenjak masa kecil saya.
Al-Ghazali muda
tampil sebagai sosok yang cerdas, tekun dan ulet.Ia tidak membutuhkan waktu
yang relatif lama untuk menguasai suatu ilmu pengetahuan. Padahal waktu yang
dimiliki lebih banyak digunakan untuk mengkaji ilmu pengetahuan. Maka wajarlah
jika ia kemudian ia menguasai berbagai disiplin ilmu, sehingga al-Juwaini
memberikan gelar 'Bahrun Mughriq' .Setelah menyelesaikan studinya di Thus dan
Jurjan, beliau melanjutkan ke kota Naisabur. [34]
Pada waktu
menghadiri majlis Wazir Naizamul Mul, suatu forum pertemuan antara kaum
intelektual- kecemerlangan dan keluasan ilmunya tampak sangat menonjol dan
mengagumkan banyak pihak.Berkat kedalaman ilmu, kefasihan lisan, kekuatan
argumentasi, dan 'low profile' nya membuat diskusan Nizamul Mulk terkagum-kagum
padanya. Maka sebagai rasa simpati,
Beliau diangkat
sebagai Guru Besar Perguruan
Nidzamiyah di Baghdad. Dalam
perjalanan bidup masa tuanya setelah empat tahun mengajar di Baghdad, al-Ghazali
menunaikan ibadah haji kemudian melancong ke Syam dan menetap di mesjid Umawi, sebagai
'abid dan zahid.
Selanjutnya ia mengembara sebagai filosuf dan sufis, sehingga ketika
kembali lagi ke Baghdad ia bukan hanya sebagai guru yang alim tetapi juga sebagai
Imam sufi merangkap Mursyid selama kurang lebih sepuluh tahun. Dari Baghdad ia
pindah ke Naisabur, kemudian kembali lagi ke Thus.
8.
Ibnu
Tumart (wafat 524 H)
9.
As
Syihristani (wafat 548 H)
Al-Syahrastani benar-benar menguasai sejarah dan pendapat-pendapat dari
berbagai aliran Islam. Itu ia paparkan secara obyektif di dalam bukunya,
al-milal wa al-Nihal (agama dan kepercayaan) yang sudah di kenal para analisis
sejak abad yang lampau sebelum mereka menemukan kembali Maqalat al-islamiyyin
karya Al-Asy’ari itu. Buku ini mereka jadikan rujukan, bahkan sampai hari ini.
Al-syahrastanitidak hanya meemfokuskan diri pada kelompok-kelompok
keagamaan, tetapi juga mengkaji par filosof klasik dan modern.Penguasaan
filosofinya ternyata amat mendalam dan sempurna. Nampak bahwa Al-syahrastani
banyak terpengaruh oleh ibnu Sina, walaupun ia juga mengritik dan menentangkan.[35]
Beliau mengarang kitab “ Al Milal Wa An Nihal yang berisi tentang firqoh-firqoh
dalam teologi islam yang terkenal.
10.
Ar
Razi (1149-1209 H)
Muhammad bin Idris Al-Mundzir bin Dawud bin Mahran al-Hanzhali
al-Hafizh. Beliau lahir pada tahun 195 H dan pada tahun 209 dia sudah berhasil
menelurkan karya untuk pertama kalinya.Abu Hatim ar-Razi hidup semasa dengan
Imam Al-Bukhari dan tercatat dalam thabaqahnya. Hanya saja, pada usia dua puluh
tahun lebih panjang dari Imam Al-Bukhari. Beliau juga menulis, salah satu
kitabnya adalah Tafsir Al-Kabir.
Al Mizzi berkata, menurut suatu pendapat, Abu Hatim Ar-Razi tinggal
dilorong jalan di Hanzdalah daerah Rai, sehingga namanya dinisbatkan kedaerah
itu. Dari Abdullah bin Muhammad bin Ya’qub beliau berkata “aku telah mendengar
Abu Hatim Ar-Razi berkata, “ Kami adalah penduduk Asfahan yang tinggal disebuah
desa bernama Jarukan. Keluarga kami mendahulukan kepentinganku daripada ayahku
sendiri, kemudian mereka memutuskannya.”
Abu Hatim Ar-Razi berkata Mazhab pilihan kami adalah mengikuti
Rasulullah, sahabat, dan tabi’in dengan berpegang teguh pada mazhab ahli atsar
seperti, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq dan Abu Ubaid. Kami selalu
mengikuti ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dengan berkeyakinan bahwa Dzat
Allah sebagaiman difirmankan-Nya,[36]
قَوْمَ فِرْعَوْنَ اَلَا يَتَّقُوْنَ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (QS.
Asy-Ayura : 11)
11.
Al-
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit
An Nu’man bin Zauthi At-Taimi Al-Kuhfi kepala suku dari bani Tamim
bin Tsa’labah. Ada yang mengatakan bahwa sebab penamaanya dengan hanifah adalah
karena dia selalu membawa tinta yang disebut hanifah dalam bahasa Irak.Beliau
dilahirkan pada tahun 80 H di Kuffah. Di saat masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik bin Marwan. Pada saat itu beliau masih sempat melihat sahabat Anas bin
Malik bin Marwan, ketika Anas dan rombongannya datang ke Kuffah. Akan tetapi
ada yang menyangkal berita ini dan mengatakan bahwa berita Imam Abu Hanafih
bertemu dengan sahabat Anas adalah tidak.
Dari Said bin Salim Al-Bashri beliau berkata, aku pernah mendengar
Abu Hanafih berkata “ Aku pernah bertemu dengan Atha’ di Mekkah. Lalu aku
bertanya kepadanya tentang sesuatu kemudian dia menjawab “Dari mana anda ?aku
berkata, aku salah satu penduduk Kuffah. Dia berkata, “Jadi anda dari kampung
yang suka memecah belah agama mereka menjadi beberapa golongan ?aku menjawab,
Ya.”
Dia berkata lagi, Anda dari kelompk mana ? aku
berkata “ Aku dari kelompok yang tidak mencaci ulama salaf, beriman kepada
qadha dan qhadar Allah, dan tidak mengkafirkan seorang pun hanya karena suatu
dosa yang dilakukannya. Kemudian dia
berkata,” Anda telah tahu maka berjanjilah menjaganya.” Begitulah beliau
berpegang teguh pada sunnah.[37]
12.
Al
Iji (wafat 756 H / 1359 M).
13.
AL
Sanusi (wafat 895). [38]
Beliau mengarang “Akidah ahli Tauhid” berisi tentang pandangan
tauhid ahlu sunnah wal jamaah beliau juga mengarang “Ummul Barahin” berisi
tentang sifat wajib. Mustahil dan jaiz bagi Allah dan Rasulullah.
Dan para pengikut Al Asy’ari antara lain Abu Ishaq Al Isfirayini,
Abu Bakar Al Qoffal, Al Hafidz Al Jurjani dan Abu Muhammad Al Thobri Al Iraqi.
Pada kurun setelahnya terdapat, Abu Bakar Al Baqilani dan Abu Bakar bin Fauruk.
Kurun setelahnya terdapat, Abu Manshur Al Naisaburi, Abu Manshur Al Baghdadi,
Al Hafidz Al Mahrawi.Kurun setelahnya terdapat, Al Khothib Al Baghdadi, Abu Al
Qosim Al Qushairi, Imam Haromain / Al Juwani.Kurun setelahnya terdapat Abu
Hamid Muhammad Al Ghazali, Fakhruddin Al Syasyi, Abu Nashr Al Qusyairi dan Ibn
Asyakir.Kurun setelahnya terdapat, Fakhruddin Al Rozy, Saifuddin Al Amudi dan
Izzudin Ibn Abdissalam.Dan seterusnya hingga para ulama yang mengikuti akidah
beliau sampai sekarang.
2.1.5 Dampak Positif dan Negatif Faham
Asy’ariyah
2.1.5.1 Dampak Positif Asy’ariyah
Tuhan dapat dilihat di akhirat, demikian pendapat al-Asyari. Di antara
alasan-alasan yang dikemukakannya, ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat
diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat yang akan membawa kepada arti
diciptakannya Tuhan. Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu
tidak mesti berarti Tuhan harus bersifat diciptakan.
2.1.5.2 Dampak Negatif
Asy’ariyah
Anggapan yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan
tidak sempat bertobat, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha
Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar
itu mendapat syafaat Nabi Muhammad SAW. sehingga terbebas dari siksaan neraka
atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberi siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa
yang diperbuatnya.
2.2FAHAM AL MATURIDIYAH
2.2.1 Latar Belakang Kemunculan
Al Maturidiyyah
Berdasarkan
buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya,
yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad.[39] Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah
yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama
aliranini.[40]
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Aliran al-Maturidiyah ini sehenarnya tidak jauh berbeda dengan aliran
al-Asy’ariyah. Keduanya dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama.
Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kehutuhan mendesak yang menyerukan untuk
menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis dimana yang berada
dibarisan paling depan adalah Mu’iazilah, maupun kaum tekstualitas yang
dipelopori oleh kaum Hanbaliyah (para pengikut Imam Ibnu Hanbal). Keduanya
herbeda pendapat hanya dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas[41].
Aliran al-Maturidiyah berdiri atas prakarsa al-Maturidi pada tahun pertama abad
ke-4 H di wilayah Samarkand.[42]
Pada awalnya antara kedua aliran ini dipisahkan oleh jarak. aliran
Asy’ariyah berkembang di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas sampai ke Mesir
sedangkan aliran al-Maturidiyah berkembang di Samarkand dan di daerah-daerah
seberang sungai (Oxus). Kedua aliaran mi bisa hidup dalam aliran yang kompleks
dan memhentuk suatu mazhab. Nampak jelas hahwa perbedaan sudut pandang mengenai
masalah-masalah fiqih kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk
berlomba dan survive. Orang-orang
Hanafiah (pengikut imam Hanafi membentengi aliran-aliran Maturidiyah dan mereka
kaitkan akarnya sampai pada imam Abu Hanifah sendiri[43].
Teolog yang juga bermazhab Hanafiyah seperti Maturidi adalah Abu Ja’far
al-Tahawi di Mesir. Dia adalah seorang ulama besar dibidang hadis dan fiqih
yang teiah mengembangkan dogma-dogma teologi yang lebih besar. Lebih dari satu abad, mazhab
Asy’ariyah tetap populer hanya diantara pengikut Syafi‘iyah sementara mazhab
Maturidiyah dan begitu juga Tahawiyah terbatas penganutnya diantara pengikut
Hanafi.[44]
2.2.2 Doktrin-doktrin
Al Maturidiyyah
Adapun pemikiran atau doktrin-doktrin dari
aliran Al Maturidiyah adalah sebagai berikut:
a.
Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran
teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia
sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan
kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam
mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan
dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh
pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk
melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman
dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah
ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi
berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu
sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan
akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu
diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal
pada tiga macam, yaitu:
1.
Akal dengan sendirinya
hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan
sesuatu itu.
Jadi,
yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan
Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan
Al-Asy’ari.
b.
Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi
perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar
sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Dengan demikian tidak
ada peretentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan
ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri
manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam
arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.[46]
c.
Kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas
bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang
buruk adalah ciptaan Allah Swt. Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak
sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung
sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d.
Sifat Tuhan
Dalam hal ini faham
Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak
pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan
mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat-sifat,
seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa
sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.
Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah
(innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud
tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada
bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang
makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan
terhadap adanya sifat Tuhan.
e.
Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan
bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara
lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan,
kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat
tidak sama dengan keadaan di dunia.
f.
Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan
antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda
yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist).
Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat
dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.[47]
g.
Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi,
tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak
Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena
ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena
itu, tuhan tidak wajib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi
manusia). setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau
kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan
keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :
a. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusioa
juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya
b. Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan
yang sudah di tetapkan-Nya.
h.
Pelaku Dosa Besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan
tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena
tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa
syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan
pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain
syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.
i.
Pengutusan Rasul
Pandangan Al-Maturidi
tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan
Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat
berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pengutusan rasul
berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di
sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar
kemampuannya kepada akalnya.[48]
2.2.3
Perkembangan Maturidiyah
Pada dasarnya munculnya pemikiran teologi al-Maturidiyah
sebagaimana juga Asy’ariyah merupakan reaksi terhadap paham Mu’tazilah. Namun dalam perkembangannya paham
al-Maturidiyah mengambil posisi ditengah-tengah antara Mu’tazilah dan
Asy’ariyah. Aliran al-Maturidiyah terbagi dalam dua aliran yaitu al-Maturidiyah
Samarkand yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi sendiri, dan
al-Maturidiyah Bukhara yang dibangun oleh pengikut Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi yakni sebagai berikut:
1. Maturudiyah Samarkand (al Maturidi)
a. Riwayat hidupnya
Nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin
Muhammad al Maturidi adalahteolog terkemuka yang menggolongkan dirinya ke dalam
barisan kaum Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Paham
teologis yang dikemukakannya dan dianut oleh para pengikutnya kemudian dikenal
dengan Maturidiah[49].
Beliau lahir di Maturid dekat dengan Samarkand (di Asia Tengah pada tahun 852 M
/ 238 H) yang tanggal kelahirannya tidak dapat diketahui secara pasti dan hanya
merupakan suatu perkiraan, yaitu berdasarkan bahwa, ketika gurunya (Muhammad
bin Muqatil al Razi) wafat pada tahun 862 M atau 248 H, beliau sudah berusia
sepuluh tahun. Jika perkiraan ini benar, maka berarti ia mempunyai usia yang
sangat panjang karena di ketahui beliau wafat di Samarkand pada 944 M / 333 H[50].
Adapun nama al Maturidi dihubungkan dengan tempat kelahirannya yaitu Maturid.
Al Maturid memperdalam ilmu dari beberapa orang guru di daerahnya.
Guru-guru al Maturidi adalah murid Abu Hanifah. Dari guru-gurunya itulah
membuat al Maturidi dikenal dalam bidang fiqih, ilmu Kalam, tafsir sekalipun
akhirnya ia lebih populer sebagai mutakallimin. Oleh karena ia lebih
banyak memfokuskan perhatiannya kepada ilmu kalam, karena ketika itu ia banyak
berhadapan dengan paham teologi lain seperti Mu’tazilah.[51]
Pemikiran-pemikiran al
Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi
memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan
Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang
juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand
yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih
dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi
yang condong kepada Asy’ariyah.
b. b. Pemikiran-pemikiran al Maturidi
Seperti yang telah diuraikan bahwa pemikiran
al Maturidi pada dasarnya sedikit berbeda dengan pemikiran al Bazdawi yang
kemudian berkembang menjadi dua cabang aliran Maturidiah yaitu Maturidiah
Samarkand oleh Abu Mansur al Maturidi sendiri. Diantara pemikiran-pemikiran
teologis al Maturidi yang akan dibahas di sini adalah sebagai berikut :
1)
Akal dan Wahyu
Berbicara mengenai akal dan wahyu dalam paham
teologi, maka ada empat masalah pokok yang diperdebatkan. Apakah keempat
masalah tersebut dapat diketahui akal atau tidak, apakah hanya dapat diketahui
oleh wahyu dan lain sebagainya. Keempat masalah pokok tersebut adalah :
Mengetahui Tuhan, Kewajiban mengetahui Tuhan, Mengetahui baik dan buruk dan
kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk sebelum datangnya
wahyu.
Al Maturidi berpendapat bahwa akal dapat
mengetahui eksistensi Tuhan. Oleh karena Allah sendiri memerintahkan manusia
untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Ini menunjukkan bahwa dengan akal,
manusia dapat mencapai ma’rifat kepada Allah[52]. Mengenai kewajiban manusia akan kemampuan mengetahui Tuhan dengan akalnya
menurut al Maturidi Samarkand sebelum datangnya wahyu itu juga adalah wajib
diketahui oleh akal, maka setiap orang yang sudah mencapai dewasa (baligh dan
berakal) berkewajiban mengetahui Tuhan[53]. Sehingga akan berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum turunnya
wahyu.
Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun
dapat mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang
terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian, akal yang juga tahu bahwa berbuat
buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa
kepada kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib
dengan kemestian akal. Yang diwajibkan akal adalah adanya perintah larangan
yang dapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan itu.[54]
Adapun
mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, menurut paham Maturidiah
Samarkand akat tidak berdaya mewajibkan manusia terhadap hal tersebut. Karena
kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui oleh
wahyu.
2) Sifat Tuhan
Bagi al
Maturidi bahwa Tuhan itu mempunyai sifat-sifat[55]. Tetapi sifat-sifat itu bukan zat. Dengan kata lain sifat-sifat itu
bukanlah suatu yang berdiri pada zat. Sifat itu qadim dengan qadimnya zat.
Kekalnya sifat-sifat itu sendiri, akan tetapi kekalnya sifat itu melalui
kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan. Oleh karena sifat-sifat
itu bukan berdiri sendiri maka tidaklah terjadi ta’addud al qudama’ sebagaimana
paham Mu’tazilah yang menafikan sifat karena beranggapan akan terjadi ta’addud
al qudama’.
3) Perbuatan Manusia
Maturidi berpendapat bahwa perbuatan manusia
adalah ciptaan Tuhan. Ada dua jenis perbuatan yakni: perbuatan Tuhan dan
perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan dimanifestasikan dalam bentuk penciptaan
daya dalam diri manusia, dan pemakaian daya itulah merupakan perbuatan manusia.[56]
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa
Maturidi mengambil jalan tengah antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyah, dimana
Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya dengan adanya
kemampuan yang diberikan oleh Allah kepadanya, sedangkan pendapat Asy’ariyah
yang menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai efektifitas dalam perbuatannya
karena ia hanya memiliki kasab yang terjadi bersamaan dangan penciptaan
daya dan bukan pengaruh dirinya. Sedangkan Maturidi memandang kasab itu
ada karena kemampuan dan pengaruh manusia.
2. Maturudiyah Bukhara (al Bazdawi)
a. Riwayat hidupnya
Nama lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin
Muhammad bin al Husain bin Abd. Karim al Bazdawi, dilahirkan pad tahun 421 H[57]. Kakek al Bazdawi yaitu Abd. Karim, hidupnya semasa dengan al Maturidi dan
salah satu murid al Maturidi, maka wajarlah jika cucunya juga menjadi pengikut
aliran Maturidiyah. Sebagai tangga pertama, al Bazdawi memahami ajaran-ajaran
al Maturidi lewat ayahnya.[58]
Al Bazdawi mulai memahami ajaran-ajaran al Maturidiyah lewat lingkungan
keluarganya kemudian dikembangkan pada kegiatannya mencari ilmu pada
ulama-ulama secara tidak terikat. Ada beberapa nama ulama sebagai guru al
Bazdawi antara lain : Ya’kub bin Yusuf bin Muhammad al Naisaburi dan Syekh al
Imam Abu Khatib. Di samping itu, ia juga menelaah buku-buku filosof seperti al
Kindi dan buku-buku Mu’tazilah seperti Abd. Jabbar al Razi, al Jubba’i, al Ka’bi, dan al
Nadham. Selain itu ia juga mendalami pemikiran al Asy’ari dalam kitab al
Mu’jiz. Adapun dari karangan-karangan al Maturidi yang dipelajari ialah kitab
al Tauhid dan kitab Ta’wilah al Qur’an[59]. Al Bazdawi berada di Bukhara pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia
menjabat sebagai qadhi Samarkand pada tahun 481 H / 1088 M, lalu kembali di
Bukhara dan meninggal di kota tersebut tahun 493 H / 1099 M.[60]
b. Pemikiran-pemikiran al Bazdawi
Dalam pembahasan selanjutnya akan dikemukakan
beberapa pemikiran al Bazdawi di antaranya sebagai berikut:
1) Akal dan Wahyu
Al Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat
mengetahui tentang kewajiban mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui
Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah
melalui wahyu[61].
Begitu pula akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban mengerjakan yang
baik dan buruk. Akal dalam hal ini hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja.
Sedangkan menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk adalah wahyu.
Dalam paham golongan Bukhara dikatakan bahwa
akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui
sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi suatu kewajiban. Di sini
dapat dipahami bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan
sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.[62]
Di sinilah wahyu mempunyai fungsi yang sangat
penting bagi akal untuk memastikan kewajiban melaksanakan hal-hal yang baik dan
menjauhi hal-hal yang buruk. Sebagaimana dikatakan al Bazdawi, akal tidak dapat
memperoleh petunjuk bagaimana cara beribadah dan mengabdi kepada Tuhan. Akal
juga tidak dapat memperoleh petunjuk untuk melaksanakan hukum-hukum dalam
perbuatan-perbuatan jahat.[63]
2) Sifat-sifat
Tuhan
Al Bazdawi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat. Tuhan pun qadim. Akan tetapi untuk menghindari banyaknya
yang menyertai qadimnya zat Tuhan, maka al Bazdawi mengatakan bahwa ke qadiman
sifat-sifat Tuhan itu melalui ke qadiman yang melekat pada diri zat
Tuhan, bukan melalui ke qadiman sifat-sifat itu sendiri.[64]
3) Perbuatan
manusia
Al Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia
itu di ciptakan Tuhan, sekalipun perbuatan tersebut di sebabkan oleh qudrah
hadisah yang berasal dari manusia itu sendiri[65]. Karena timbulnya perbuatan itu terdapat dua daya yaitu daya untuk
mewujudkan dan daya untuk melakukan.
Meskipun dua tokoh aliran Maturidi dan juga
Asy’ari berbeda dalam beberapa hal tetapi punya prinsip yang sama. Jika
terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka akal harus tunduk kepada
wahyu. Itulah satu contoh sehingga mereka terpadu dengan satu aliran besar
(Ahlu Sunnah Wal Jama’ah). Di samping itu mereka tampil menentang Mu’tazilah,
hanya saja Asy’ari berhadapan langsung dengan pikiran yang sangat bertentangan
dengan Mu’tazilah.
Meskipun dalam perjalanan sejarah ilmu kalam,
termasuk penjelasan tersebut diatas tentang pemikiran al_Maturidiyah. Aliran
maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa
pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam
dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat
bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal
tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya
kepada kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar
diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.
2.2.4 Profil Tokoh-Tokoh Faham Maturidiyah
Al-Maturidiyyah
adalah merujuk kepada sekumpulan pengikut yang menuruti
pemikiran al-Maturidi. Kebanyakan ulama al-Maturidiyyah pula terdiri daripada
para pengikut aliran
fiqh al-Hanafiyyah. Ini kerana pada umumnya, aliran pemikiran al-Maturidiyyah
berkembang di kawasan aliran al-Hanafiyyah. Bagaimanapun, mereka tidaklah
sekuat para pengikut aliran al-Asy’ariyyah.
Di antara
mereka ialah:
1. Abu al-Qasim
Ishaq b. Muhammad @ al-Hakim al-Samarqandi (m.340/951)
Abd al-Hakim al-Samarqandi menulis buku yang berjudul al-Sawad
al-A‟zam yang dianggap sebagai karya tertua di bidang teologi dari aliran
Maturidiyah. Tulisannya yang lain adalah: Aqidah al-Imam dan Syarh
al-Fiqh al-Akbar. Sedangkan Abu al-Hasan Ali ibn Said al-Rastafgani
menulis: Kitab al-Irsyad al-Muhtadiy, Kitab al-Zawa‟id wa al-Fawa‟id fiy
Anwa‟ al-„Ulum, Kitab al-Khilaf dan As‟ilah wa Ajwibah. Namun,
tulisan yang lebih lengkap tentang pemikiran teologi al-Maturidi baru dilakukan
setelah abad ke-5/11 oleh Fakhr al-Islam „Ali ibn Muhammad ibn Abd al-Karim
al-Bazdawiy.
2. Abu al-Yusr
Muhammad al-Bazdawi (421-493/1030-1100)
Salah seorang tokoh Maturidiyah yang hidup
pada abad ke-5/11 adalah Abu al-Yusr Muhammad ibn Muhammad ibn Abd al-Karim
al-Bazdawiy, lahir pada tahun 421 H dan wafat di Bukhara tahun 493/1099. Beliau menerima pendidikan dari ayahnya, kakeknya sendiri adalah
murid dari al-Maturidi.
3. Abu Hafs Umar bin
Muhammad al Nasafi (460-537/1068-1143)
Muhammad al-Nasafi, lahir di Nasaf tahun 460/1068 dan wafat di
Samarqand tahun 537/1142. Beliau termasuk ulama besar pada masanya, tulisannya
yang terkenal adalah al-„Aqa‟id al-Nasafiyah yang dari segi metode dan
materinya sangat jelas dipengaruhi oleh pemikiran al-Maturidi. Buku ini bukan
hanya menarik bagi para tokoh Maturidiyah tetapi juga tokoh-tokoh Asy‟ariyah,
al-Taftazani misalnya, menulis sebuah komentar atas buku tersebut.
4. Sa’d al Din al Taftazani
(m.790/1388)
5. Kamal al Din Ahmad al Bayadi.
6. Abu al Hasan Ali bin
Sa’id al Rastagfani.
7.
Abu al Laith al Bukhara
2.2.5 Dampak Positif dan Negatif Faham
Maturidiyah
2.2.5.1
Dampak Positif Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara,
sepakat bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan
dalam dirinya. Adapun balasan yang
diperolehnya kelak di akhirat adalah tergantung apa yang dilakukannya di dunia.
Jika pelaku dosa besar meninggal sebelum bertaubat,
maka semuanya diserahkan kepada Allah SWT, jika menghendaki pelaku dosa besar
itu diampuni, maka akan dimasukkan ke dalam neraka, tapi tak kekal di dalamnya.
2.2.5.1
Dampak Negatif Maturidiyah
Dimana iman sebagai suatu
kepercayaan dalam hati, sedangkan pernyataan lisan dan amal perbuatan hanya
sebagai pelengkap saja.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Melihat
uaraian makalah diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.
Ada dua faktor yang menjadi penyebab keluarnya
Asy’ari dari aliran Mu’tazilah dan munculnya faham Asy’ariyah yakni pertama
faktor subyektif, yaitu pengakuan Al-
Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan
Rasulullah SAW sebanyak 3 kali dan alam tiga mimpinya itu Rasulullah
memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang
telah diriwayatkan dari beliau. Kedua
faktor obyektif ialah beliau menemukan adanya beberapa pandangan yang
kontroversial dalam aliran Mu’tazilah.
2.
Pemikiran atau doktrin-doktrin dari aliran
Asy’ariyah yakni Tuhan dan sifat-sifat-Nya, Kebebasan dalam berkehendak
(free-will), Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk, Qadimnya Al-Qur’an,
Melihat Allah, Keadilan, dan Kedudukan orang yang berdosa besar.
3.
Aliran Asy'ariyah sepeninggal pendirinya
sendiri mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat karena pada akhirnya,
aliran Asy'ariyah lebih condong kepada segi aliran mendahulukannya sebelum nash
dan memberikan tempat yang lebih luas daripada tempat untuk nash-nash itu
sendiri.
4.
Tokoh-tokoh dalam aliran Asy-ariyah yang terkenal
yakni Al Baqillani (wafat 403 H), Ibnu Faurak (wafat 406 H), Ibnu Ishak al
Isfaraini (wafat 418 H), Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H), Imam al Haramain
al Juwaini (wafat 478 H), Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H), Al
Ghazali (wafat 505 H), Ibnu Tumart (wafat 524 H), As Syihristani (wafat 548 H),
Ar Razi (1149-1209 H), Al- Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Al Iji (wafat
756 H / 1359 M), dan AL Sanusi (wafat 895).
5.
Dampak positif Asy’ariyah yakni Tuhan dapat dilihat di akhirat sedangkan dampak negatifnya yakni Anggapan
yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat
bertobat, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak.
6.
Aliran al-Maturidiyah
ini sehenarnya tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah. Keduanya
dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama.
7.
Pemikiran atau doktrin-doktrin dari aliran
Asy’ariyah yakni akal dan wahyu, Perbuatan
Manusia, Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, Sifat Tuhan, Melihat Tuhan, Kalam
Tuhan, Perbuatan Manusia, Pelaku Dosa Besar, dan Pengutusan Rasul.
8.
Perkembangan paham
al-Maturidiyah mengambil posisi ditengah-tengah antara Mu’tazilah dan
Asy’ariyah. Aliran al-Maturidiyah terbagi dalam dua aliran yaitu al-Maturidiyah
Samarkand yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi sendiri, dan
al-Maturidiyah Bukhara yang dibangun oleh pengikut Abu Yusr Muhammad
al-Bazdawi.
9. Tokoh-tokoh dalam aliran
al-Maturidiyah yang terkenal yakni Abu al-Qasim Ishaq b. Muhammad @ al-Hakim al-Samarqandi (m.340/951), Abu
al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493/1030-1100), Abu Hafs Umar bin Muhammad al
Nasafi (460-537/1068-1143), Sa’d al Din al Taftazani (m.790/1388), Kamal al Din
Ahmad al Bayadi, Abu al Hasan Ali bin Sa’id al Rastagfani, dan Abu al Laith al
Bukhara.
10. Dampak positif aliran Al
Maturidiyah yakni aliran
Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat bahwa pelaku dosa masih
tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Sedangkan dampak
negatifnya yakni iman sebagai suatu
kepercayaan dalam hati, sedangkan pernyataan lisan dan amal perbuatan hanya
sebagai pelengkap saja.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah Imam
Muhammad. 1996. Aliran Politik dan
Aqidah dalam Islam, Jakarta:
Logos Publishing House
Abduh,Syekh
Muhammad. 1960. Al-Islam Bainal Ilmi wa Madaniyah. Dar
al-Hilal
Ahmadi Abu.
1991. Perbandingan Agama, Jakarta:
Rineka Cipta
Al-Asy’ari Imam
Abul Hasan. 2010. Al-Ibanah; Buku Putih Imam Al-Asy’ari, Solo: At- Tibyan
Al-Fachuri, Hanna
danAl-Jarr. 1958. Khalil Tarikhul falsafah al-Arabiah I. Dar
al-Ma’arif:
Beirut
Al-Juwaini, Imam. 1950. al-Irsyad. Maktabah
al-Khanji
Asy Syak’ah
Mustofa Muhammad. 1994. Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema Insani Press
Bashori.
2001. Ilmu Tauhid: Ilmu Kalam :Malang
Dahlan , Abd. Rahman dan Qarib, Ahmad.1996. Aliran
Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos
Publishing House
FaridSyaikh
Ahmad. 2007. 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Hanafi, Ahmad. 1993. Teologi Islam ( Ilmu Kalam ). Cet. X. Jakarta : Bulan Bintang
Hanafi, A.2003.Pengantar Teologi Islam.Jakarta:
Pustaka al-Husna Baru
Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Press
Hasan Mu’arif, Ambary. Ensiklopedi Islam. Jakarta
: Ikrar Mandiri Abadi
Jaelani M
Biari. 2007. Ensiklopedia Islam, Yogyakarta: Panji Pustaka
Karya Soekama
dkk..1996. Ensiklopedia Mini, Jakarta: Kategiri Khusun
Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Cet I.
Jakarta: Sinar Grafika Offset
Musa, Yusuf.
1959.al-Aqidah Wasyari’ah fil Islam. Dar
al-Kutub al-Haditsh
Musa, M. Yusuf. 1959. al-Islam
wal Hajat al-Insania Illahi.as-Syarikatul
Arabiah LitHiba’ati wan Nasyr
Nasr, Sayyed Hossein.
1996. Intelektual Islam, Cet I.
Yogyakarta: Pustaka Pe1ajar
Rozaq Abdul,
dkk..2012. Ilmu Kalam Edisi Revisi, Bandung:
Pustaka Setia
Ramli Muhammad
Idrus. 2009. Mazhab Al-Asy’ari, Surabaya: Khalista
Sarkowi, 2010.Teologi
Islam Klasik: Mengurai Akar Pemikiran
Aliran-Aliran Teologi
Islam Klasik, Malang: Resist Literacy
[2]
Prof. Dr. H. Abdul Rozaq, M.Ag.; Prof.Dr.H. Rosihon Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam
Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.146.
[3]
Sarkowi, S.PdI, M.A, Teologi Islam Klasik: Mengurai Akar Pemikiran Aliran-Aliran Teologi Islam
Klasik,Resist Literacy, Malang, 2010, hlm. 71.
[4]Ibid.,hlm.72.
[5]
DRS. BASHORI, Ilmu Tauhid: Ilmu
Kalam, Malang, 2001, hlm . 94.
[6]Ibid.,hlm.96.
[8]
Biari M. Jaelani, Ensiklopedia Islam, Panji Pustaka, Yogyakarta, 2007,
hlm. 72.
[9]
DRS. BASHORI, Ilmu Tauhid: Ilmu
Kalam, Malang, 2001, hlm . 97.
[10]
Prof. Dr. H. Abdul Rozaq, M.Ag.; Prof.Dr.H. Rosihon Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam
Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.147.
[11]
Sarkowi, S.PdI, M.A, Teologi Islam Klasik: Mengurai Akar Pemikiran Aliran-Aliran Teologi Islam
Klasik,Resist Literacy, Malang, 2010, hlm. 74.
[12]
Prof. Dr. H. Abdul Rozaq, M.Ag.; Prof.Dr.H. Rosihon Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam
Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.148.
[13]Ibid,.hlm.
75.
[14]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI
Press, Jakarta, 1986, hlm. 70.
[15]
Prof. Dr. H. Abdul Rozaq, M.Ag.; Prof.Dr.H. Rosihon Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam
Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.148
[16]
Prof. Dr. H. Abdul Rozaq, M.Ag.; Prof.Dr.H. Rosihon Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam
Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.149.
[17]Imam
Abul Hasan Al-Asy’ari, Al-Ibanah; Buku Putih Imam Al-Asy’ari, At-Tibyan,
Solo, 2010, hlm. 85.
[18]Ibid,
hlm. 150
[19]
Sarkowi, S.PdI, M.A, Teologi Islam Klasik: Mengurai Akar Pemikiran Aliran-Aliran Teologi Islam
Klasik,Resist Literacy, Malang, 2010, hlm. 77.
[20]Ibid,
hlm. 150.
[21]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI
Press, Jakarta, 1986, hlm. 71
[22]Ibid,
hlm. 150.
[23]
DRS. BASHORI, Ilmu Tauhid: Ilmu
Kalam, Malang, 2001, hlm . 100.
[25]Imam al-Juwaini, al-Irsyad,
Maktabah al-Khanji, 1950, hlm. 41-42.
[26]M. Yusuf Musa, al-Islam
wal Hajat al-Insania Illahi, as-Syarikatul Arabiah Lit
Hiba’ati
wan Nasyr, 1959, hlm. 44.
[27]Yusuf Musa, et
al, al-Aqidah Wasyari’ah fil Islam, Cet. 2, Dar al-Kutub al-Haditsh,
1959,
hlm. 128.
[28]Hanna al-Fachuri
dan Khalil al-Jarr, Tarikhul falsafah al-Arabiah I, Dar al-Ma’arif,
Beirut,
1958, hlm. 185.
[29]Syekh Muhammad
Abduh, Al-Islam Bainal Ilmi wa Madaniyah, Dar al-Hilal, 1960,
hlm.
119.
[30]
Muhammad Idrus Ramli, Mazhab
Al-Asy’ari, Khalista, Surabaya, 2009, hlm. 74.
[31]
Muhammad Idrus Ramli, Mazhab
Al-Asy’ari, Khalista, Surabaya, 2009, hlm. 76.
[32]
Muhammad Idrus Ramli, Mazhab
Al-Asy’ari, Khalista, Surabaya, 2009, hlm. 78.
[33]Ibid.,
hlm. 82.
[34]Ibid.,
hlm. 88.
[35]Ibid.,
hlm. 90.
[36]
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, 2007, hlm. 541.
[37]
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, 2007, hlm. 169.
[38]
DRS. BASHORI, Ilmu Tauhid: Ilmu
Kalam, Malang, 2001, hlm . 98.
[40] Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. 1996. Aliran Politik dan ‘Aqidah
dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House
[45] Ibid.
[46] Ibid
[47] Ibid
[48] Ibid
[49] Ambary, Hasan
Mu’arif. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi
[50] Ahmad Hanafi.
1993. Teologi
Islam ( Ilmu Kalam ). Jakarta : Bulan Bintang
[53] Al-Bazdawi. Kitab Usuluddin . Al-Bazdawi. Kitab Usuluddin. Kahirah:
Dr. Kahirah: Dr. Hans Piter Lins (Et. Al), Dar Haya'. Hans Piter Lins
Tidak ada komentar:
Posting Komentar